Humaniora

Anak-Anak Perempuan Gaza Memotong Rambut Mereka Karena Tak Punya Sisir

Anak-Anak Perempuan Gaza Memotong Rambut Mereka Karena Tak Punya Sisir
Dr Lobna Al Azaizah sedang memeriksa seorang gadis di tenda pusat kesehatan yang ia dirikan tak jauh dari rumahnya di Deir El Balah yang hancur oleh bom Israel pada 12 Agustus 2024. (Gambar : reuters)

RUANGTENGAH.co.id, Gaza - Di tengah blokade yang melumpuhkan dan krisis kemanusiaan yang semakin parah, dokter anak di Gaza, Lobna Al Azaiza, menghadapi tantangan yang tak terbayangkan. Ketika anak-anak perempuan di wilayah yang porak-poranda ini mengeluhkan tidak memiliki sisir, Azaiza dengan berat hati menyarankan mereka untuk memotong rambut. 

 

Ini bukan sekadar soal sisir; akses terhadap kebutuhan dasar seperti sampo, sabun, produk menstruasi, hingga bahan pembersih rumah tangga hampir tidak ada.

 

Blokade Israel yang telah berlangsung selama 10 bulan telah menghancurkan infrastruktur vital, termasuk sistem pengumpulan sampah dan pengolahan limbah. Akibatnya, penyakit menular yang mudah menyebar di lingkungan yang padat dan kurang higienis, seperti kudis dan infeksi jamur, meningkat drastis.

 

“Dulu, masalah kesehatan yang paling umum adalah ruam kulit dan berbagai penyakit kulit lainnya, yang penyebabnya bermacam-macam, termasuk kepadatan di kamp-kamp pengungsian, suhu tinggi dalam tenda, keringat pada anak-anak, dan kekurangan air untuk mandi,” jelas Azaiza.

 

dr Lobna.jpegSeorang petugas medis memeriksa tekanan darah seorang wanita Palestina di tenda pusat kesehatan yang didirikan dr Lobna Al Azaizah, di Deir Al Balah. (gambar : reuters)

 

Sebelumnya, Azaiza bekerja di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia, namun kini wilayah itu terpisah dari bagian selatan Gaza akibat serangan tank Israel. Seperti banyak petugas medis lainnya, Azaiza beradaptasi dengan situasi ini dan tetap merawat pasien, meskipun harus berjalan kaki ke klinik tenda yang didirikannya, melewati reruntuhan rumahnya sendiri yang hancur akibat serangan.

 

Klinik tenda yang awalnya diperuntukkan bagi anak-anak, kini telah berubah menjadi tempat perawatan bagi seluruh keluarga. Sebagian besar dari mereka telah kehilangan rumah akibat pengeboman atau diperintahkan untuk mengungsi, seperti halnya jutaan penduduk Gaza lainnya.

 

Harga obat-obatan yang ada pun semakin tidak terjangkau. Misalnya, satu botol salep luka bakar kini bisa mencapai 200 shekel (sekitar $53). Situasi semakin memburuk setelah Israel memperketat pengawasan di perbatasan Rafah dari Mesir, yang menyebabkan pengiriman bantuan internasional berkurang drastis dan krisis kemanusiaan semakin parah.

 

Meski Israel membantah bertanggung jawab atas keterlambatan pengiriman bantuan, menuduh PBB dan organisasi lain yang seharusnya bertanggung jawab atas distribusi di dalam Gaza, Azaiza menegaskan bahwa solusi mendesak harus segera diambil.

 

“Perbatasan harus dibuka agar kami bisa mendapatkan pasokan obat-obatan. Sebagian besar obat yang ada saat ini tidak efektif; tidak ada dampak yang signifikan terhadap penyakit kulit yang kami hadapi,” tegasnya.

 

Kondisi di Gaza semakin memburuk, dan seruan untuk bantuan segera semakin mendesak. Dokter seperti Azaiza terus berjuang di garis depan, meskipun dengan sumber daya yang semakin terbatas dan ancaman yang semakin besar. [RUTE/arabnews]

 

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.