Khazanah

Hukum Boikot Dalam Kacamata Syariah

Hukum Boikot Dalam Kacamata Syariah

Oleh : Dr. Fery Ramadhansyah, Lc., MA*

 

Sejak tanggal 7 Oktober 2023 lalu, yaitu tepatnya sejak pecah perang di Gaza, Palestina, antara pejuang Hamas melawan militer Israel, seruan boikot atas produk-produk Israel mencuat kembali. 

 

Begitu banyak orang setuju dengan seruan boikot ini. Namun, ada juga yang tidak setuju atau menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu. Lantas, bagaimana tinjauan atas pemboikotan ini dalam kacamata syariah atau hukum Islam?

 

Pertama; saya ingin katakan bahwa bicara tentang hukum Islam, atau yang sering disebut fikih, biasanya tidak terlepas dari lima hal ; yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kelima hal ini merupakan hasil penalaran formulasi hukum ditinjau dari maksud dan tujuannya. 

 

Jika hukum muncul berdasarkan perolehan manfaat dan penolakan madharat yang terbentuk dari perintah dan larangan, maka bisa kita klasifikasikan bahwa hukum yang termasuk kategori manfaat adalah wajib dan sunah, sementara hukum yang termasuk kategori madharat adalah makruh dan haram. Adapun hukum mubah pada dasarnya tidak ada ada kemanfaatan atau kemudaratan secara langsung. 

 

Dari sini kemudian dipahami bahwa setiap perintah bisa bersifat wajib atau sunnah, dan setiap larangan bisa bersifat makruh dan haram. Semua bergantung pada manfaat dan madharat yang diterima. Adapun yang mubah, dikarenakan tidak ada manfaat atau mudarat pada dasarnya, maka sifatnya menjadi netral yang tidak ada perintah ataupun larangan.

 

Kedua; Di antara contoh yang mubah misalnya belanja atau membeli sesuatu. Sama seperti makan dan minum, bagi seorang yang berbelanja maka dia bebas untuk membeli barang yang ia suka, atau tidak membeli barang yang ia tidak suka. Karena, biasanya orang membeli sesuatu karena kebutuhan dan sesuai uang yang dimiliki. Tidak penting apakah transaksi jual beli itu dilakukan antar sesama muslim atau non muslim, sepanjang transaksi itu memenuhi rukun dan syarat, dan disertai kerelaan masing-masing pihak maka hukum transaksi tersebut menjadi mubah atau boleh.

 

Yang jadi persoalan adalah apakah hukum mubah ini sifatnya selalu netral. Tidak, mubah tidak selamanya netral. Meskipun posisinya tidak terkategori perintah ataupun larangan namun akan berubah seiring dengan tendensi yang membawanya ke arah manfaat atau madharat juga. 

 

Sebut saja makan, dalam kondisi umum orang bebas mau makan atau tidak. Namun, ketika pada akhirnya berdampak positif maka hukumnya bisa menjadi sunah bahkan wajib. Sedangkan jika dampak yang ditimbulkan justru negatif maka hukumnya menjadi makruh bahkan haram. 

 

Pada kondisi normal, seseorang boleh saja makan atau tidak. Akan tetapi, dalam kegiatannya sehari-hari, saat ia butuh energi, maka makan hukumnya menjadi sunnah bahkan wajib. Sebaliknya, jika ia makan berlebihan sehingga membuat kesehatannya terganggu, menimbulkan penyakit, maka hukumnya menjadi makruh bahkan haram.

 

Sama halnya dengan memboikot produk-produk negara Israel dan sekutu. Tidak tepat alasan yang menyebutkan kalau membeli produk-produk mereka hukumnya sekedar mubah. Memang pada dasarnya menjadi hak setiap orang untuk membeli produk apapun. Namun, dalam hal ini dikarenakan dengan membeli produk tersebut akan memberi keuntungan pada perusahan Israel dan sekutu yang akan menguatkan perekonomian mereka, dan secara tidak langsung berarti mendukung penjajahan mereka terhadap rakyat Palestina, maka kemubahan yang semula ada berubah menjadi haram. Karena, kondisi netral yang ada justru mengarah pada pemunculan madharat. Madharatnya di sini jelas, yaitu; berkontribusi secara tidak langsung untuk kelancaran agresi penjajahan, sebab setiap keuntungan yang diperoleh akan dipergunakan mendukung aksi yang mereka lakukan.

 

Ketiga; kondisi dilematis yang terkadang ditemui di lapangan antara membeli atau tidak membeli produk Israel dan sekutu, sering dijadikan alasan oleh sebagian orang. Ada yang berpendapat tindakan boikot bukanlah cara yang bijak karena akan meningkatkan angka pengangguran. Ini dikhawatirkan berdampak langsung pada kehilangan mata pencaharian bagi saudara-saudara muslim yang bekerja di perusahan atau tempat di mana produk-produk tersebut di jual. 

 

Alasan ini tidak tepat, karena jika dibandingkan antara kehilangan pekerjaan bagi para pegawai dengan kehilangan nyawa bagi rakyat palestina, tentu menyelamatkan jiwa lebih utama dari pada menyelamatkan harta. Sering orang berkata, harta bisa dicari tetapi nyawa tidak bisa diganti. Hal ini mengapa syariah lebih memprioritaskan mendahulukan nyawa lebih utama dari pada menjaga harta.

 

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa membeli produk Israel dan sekutu hukumnya haram, memboikotnya berarti wajib. Meski membelinya semula mubah, namun hukum mubah itu bergeser ke arah makruh dan berhenti menjadi haram dikarenakan madharat yang ditimbulkan lebih besar. Cukup dikatakan egois jika seseorang tidak ikut memboikot produk tersebut, karena ia tidak memiliki empati terhadap orang lain yang meregang nyawa akibat penjajahan yang dilakukan oleh Israel.

 

Wallahu a'lam.

 

------

 

*) Menyelesaikan S1 Syariah wal Qanun di Al Azhar University Cairo, Mesir. Kemudian, menyelesaikan S2 Syariah di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara. Dan, menyelesaikan S3 Syariah di Cairo University, Mesir.  

 

 

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.