Nasional

Idul Fitri Tahun ini Berbeda, MUI Berikan Penjelasan

Idul Fitri Tahun ini Berbeda, MUI Berikan Penjelasan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, (gambar : sindo)

RUANGTENGAH.co.id, Jakarta - Terdapat perbedaan ketetapan Idul Fitri 1444 H. Menyikapi hal tersebut,  Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, memberikan penjelasan tentang perbedaan tersebut dan hukum puasa pada hari Jumat 21 April 2023.

 

Dilansir MUIDigital, Kamis (20/4) Prof Niam menyampaikan beberapa poin berikut ini :

 

Pertama, penentuan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah di antaranya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah merupakan wilayah ijtihadiyah yang membuka kemungkinan terjadinya perbedaan di kalangan ahli fiqih.

 

Oleh karena itu, dalam disiplin keilmuan memang meniscayakan lahirnya perbedaan. Prof Niam menegaskan terjadinya perbedaan pendapat dalam ranah majal al-ikhtilaf atau wilayah dimungkinkannya terjadi perbedaan harus dengan mengedepankan sikap toleransi (tasamuh).

 

Adapun penetapan 1 Syawal 1444 H mengalami perbedaan waktu. Maka dari itu, MUI mengimbau seluruh umat Islam agar menyikapi perbedaan tersebut dengan sikap toleransi dan saling menghargai.

 

Perbedaan yang didasarkan pada ilmu akan melahirkan kesepahaman (tafahum) bukan pertentangan ( tanazu‘), dan permusuhan (‘adawah). 

 

Karenanya, beragama perlu dengan ilmu sehingga muncul spirit harmoni dan kebersamaan. Sikap toleransi sendiri merupakan perintah yang termaktub isyaratnya dalam Al Quran surat Al Hujurat ayat 10, yaitu:


اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”

 

Kedua, penentuan awal Syawal 1444 H sebaiknya menunggu hasil penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah yang diawali dengan sidang itsbat dan diikuti oleh perwakilan ormas Islam, para ahli di bidang astonomi dan falak, serta juga pertimbangan MUI.

 

Ketiga, menyikapi perbedaan tersebut, bagi yang menggunakan ijtihad dengan berpatokan wujudul hilal dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Idul Fitri jatuh pada Jumat, maka Ia tidak boleh berpuasa. Sebab Ia akan melaksanakan shalat Idul Fitri.

 

Sementara bagi yang menggunakan ijtihad dengan berpatokan rukat atau hisab imkanur rukyat dengan kriteria ketinggian hilal 3 derajat, dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Idul Fitri jatuh hari Sabtu, maka dia tetap berpuasa pada Jumat. Hal ini karena shalat Idul Fitri akan dilaksanakannya pada Sabtu dan dia tidak boleh berpuasa pada hari tersebut.

 

Prof Niam juga berpesan agar  umat Islam beragama dengan ilmu. Namun apabila tidak memiliki ilmu, maka umat Islam harus mengikuti pendapat orang yang berilmu dalam konteks ini adalah para alim ulama. (RUTE/MUI)

0 Komentar :

Belum ada komentar.