Oleh : Uci Supiani, Lc
Mahasiswi Program Magister Syariah Islamiyah, Al Azhar University Cairo
Beberapa waktu lalu sempat ramai dan viral soal “ipar’ yang dihangatkan oleh sebuah film bertema tersebut di layar lebar. Film ini berhasil menyedot perhatian besar dari publik dan menjadi sangat menarik untuk membicarakan kembali hukum Ipar dalam kacamata syariat Islam.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Uqbah bin Amir radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
"إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ"، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: "الحَمْوُ المَوْتُ"
Artinya: “Janganlah kalian masuk ke (tempat) wanita (yang bukan mahram)”. Seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar (saudara suami atau saudara istri)?” Rasulullah SAW bersabda, “Ipar adalah maut.”
Makna hadits ini adalah peringatan keras dari Rasulullah SAW tentang bahaya dan fitnah yang mungkin timbul dari interaksi bebas antara ipar yang berlainan jenis. Berikut penjelasan menurut pandangan ulama:
1. Imam An Nawawi menjelaskan bahwa ipar adalah kerabat suami yaitu ayah, paman, saudara, keponakan dan sepupunya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ipar dalam hadits ini adalah selain ayah mertua. Termasuk juga dalam kategori ipar yaitu saudari dari istri.
Adapun maksud dari “ipar adalah maut", Imam An Nawawi menjelaskan bahwa ipar disebut maut karena fitnah (godaan) yang mungkin terjadi antara ipar lebih berbahaya dan lebih besar dibandingkan dengan orang lain yang bukan mahram. Sehingga perlu kewaspadaan lebih agar tidak terjadi hal-hal yang dilarang dalam Islam.
2. Ibnu Faris mengutarakan bahwa ipar adalah ayah dari istri ataupun suami (mertua), saudara istri dan paman istri.
3. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hamwu" (ipar) di sini adalah kerabat suami seperti saudara laki-laki suami, sepupu suami, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa berduaan dengan ipar atau berkhalwat sangat dilarang dalam Islam karena kemungkinan besar terjadi fitnah yang besar.
4. Syaikh Bin Baz menekankan bahwa hadits ini merupakan peringatan agar tidak meremehkan hubungan antara ipar. Menurutnya, meskipun ipar masih keluarga, tetapi tetap bukan mahram sehingga tetap harus menjaga batasan-batasan syariat dalam berinteraksi.
5. Para ulama lainnya memberikan penjelasan bahwa ipar adalah semua kerabat dekat dari pihak istri ataupun suami.
Hadits ini mengingatkan umat Islam untuk selalu menjaga batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, termasuk ipar. Interaksi yang tidak sesuai dengan syariat dapat membawa kepada fitnah yang berbahaya. Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk menghindari berdua-duaan dengan ipar dan menjaga adab serta etika dalam berinteraksi demi menjaga kehormatan dan kesucian keluarga.
Mahram
Dalam Fiqih Islam dikenal istilah Mahram atau Al Muharramaat minannisa yaitu perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dinikahi oleh seorang laki-laki.
Mahram terdiri dari dua jenis. Pertama, Mahram yang bersifat Ta’bid. Yaitu, mahram atau kerabat yang diharamkan untuk dinikahi selamanya. Atau dengan kata lain, pengharamannya bersifat permanen disebabkan adanya hubungan nasab/sedarah, karena sebab radla’ah atau saudara sepersusuan, atau karena adanya hubungan pernikahan.
Kedua, Mahram yang bersifat Ta’qit. Yaitu, kerabat yang tidak boleh dinikahi untuk batasan waktu tertentu atau bersifat temporal, karena adanya hubungan pernikahan.
Kemudian, Mahram akibat hubungan pernikahan bisa dibedakan juga kepada dua jenis.
Pertama, adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi disebabkan hubungan kekerabatan karena adanya ikatan pernikahan. Dan, larangan ini bersifat permanen/selamanya walaupun hubungan pernikahannya sudah berakhir. Orang-orang yang termasuk dalam jenis ini adalah ibu mertua, anak tiri bawaan istri, ibu tiri, dan menantu.
Kedua, adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi disebabkan adanya hubungan kekerabatan karena ikatan pernikahan. Akan tetapi, larangan ini hanya bersifat sementara, dan menjadi halal dinikahi jika ikatan pernikahan sudah berakhir. Orang yang termasuk dalam kategori ini adalah saudari istri atau ipar, dan bibi istri (dari pihak ibu dan ayahnya).
Saudari istri/ipar haram dinikahi oleh suami dari saudarinya karena adanya larangan mempoligami dua kakak beradik berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 2. Akan tetapi, jika ikatan pernikahan berakhir, baik karena perceraian atau kematian, maka sang suami boleh menikahi saudari istrinya itu.
Batasan
Ada beberapa batasan yang harus diperhatikan antara seorang suami dalam berinteraksi dengan saudari istrinya. Berikut adalah pandangan fiqih mengenai batasan ini.
1. Menjaga Aurat
Seorang suami wajib menjaga pandangannya dan tidak boleh melihat aurat ipar perempuannya. Aurat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (termasuk ipar) harus selalu ditutup.
2. Tidak Berduaan (Khalwat)
Tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk berduaan dengan ipar perempuannya di tempat yang tertutup atau tempat yang tidak memungkinkan orang lain untuk masuk (khalwat). Rasulullah SAW bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Artinya: "Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut ditemani mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Menjaga Pergaulan dan Interaksi
Interaksi antara seorang suami dengan ipar perempuannya harus tetap dijaga dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syariat. Pembicaraan dan interaksi hendaknya hanya dalam hal-hal yang penting dan tidak mengarah pada hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah.
4. Tidak Bersentuhan
Tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersentuhan dengan ipar perempuannya. Sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat atau keperluan medis.
5. Menghindari Fitnah
Seorang suami harus selalu berusaha menghindari segala bentuk fitnah yang mungkin timbul dari interaksinya dengan ipar perempuannya. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan menghindari situasi yang bisa menimbulkan prasangka buruk atau godaan.
Dalam Islam, ada batasan-batasan yang jelas terkait interaksi antara seorang suami dengan ipar perempuannya. Batasan ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan mencegah terjadinya fitnah.
Demikian yang perlu kita perhatikan terkait hubungan dengan ipar dalam pandangan Islam. Terkadang, ada hal-hal keliru yang terlanjur dianggap biasa di tengah masyarakat kita. Sepatutnya, kita dapat mendahulukan timbangan syariat ketimbang kebiasaan.
Semoga dengan menjaga adab dan etika yang diajarkan oleh Islam, hubungan keluarga bisa tetap harmonis dengan tetap mentaati syariat. Wallahua’lam bishawab.[]
0 Komentar :
Belum ada komentar.