RUANGTENGAH.co.id, Cilegon - Ketua alumni Al Azhar Mesir Banten, Asep Sofwatullah Lc menilai bahwa pendidikan Islam di Indonesia perlu mengajarkan mazhab-mazhab untuk memperluas sudut pandang, mencegah radikalisme dan mengikis sikap ingin menang sendiri.
Asep mengemukakan bahwa hal seperti ini sudah sejak lama diajarkan di Al Azhar Mesir. Dan, pendidikan di Indonesia dinilai perlu mengadopsi kurikulum Al Azhar yang mengajarkan Islam moderat.
Dalam kapasitasnya sebagai tokoh Islam di Cilegon dan ketua alumni Universitas Al Azhar Mesir di Banten, Asep dimintai tanggapannya perihal 30 pesantren yang terafiliasi dengan Khilafatul Muslimin.
“Radikalisme itu berbahaya. Dan, untuk mencegahnya, semua lembaga pendidikan Islam harus mengenalkan mazhab-mazhab besar,” ungkap Asep yang juga merupakan ketua Yayasan KH Wasyid, tokoh besar Cilegon dan Banten yang berjuang melawan Belanda pada tahun 1888. Gerakan KH Wasyid dulu dikenal dengan Geger Cilegon.
Ada empat mazhab besar dalam Islam yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Dengan mempelajari berbagai mazhab, umat Islam akan bisa toleran dalam menyikapi perbedaan. Karena, setiap mazhab memiliki pendapat yang tidak selalu sama dalam menjalankan ibadah.
“Dengan mempelajari mazhab-mazhab utama ini, umat Islam menjadi tidak fanatik terhadap satu pemahaman tertentu saja. Jadi tidak ada ngotot-ngototan dan merasa benar sendiri. Ini hal yang terpenting, menumbuhkan sikap toleransi,” tambah Asep.
“Jadi intinya membentuk umat Islam yang memiliki wawasan luas. Jadi tidak akan lagi mengkafirkan kelompok lain,” sambungnya.
Asep mencontohkan antara orang NU dan Muhammadiyah sering terlibat perdebatan di masa lalu. Namun belakangan, antar anggota kedua organisasi Islam terbesar Indonesia ini jarang muncul perdebatan yang berlarut-larut.
“Ini karena orang Muhammadiyah mempelajari NU, demikian pula orang NU mempelajari Muhammadiyah. Jadi akhirnya saling toleran,” terang lulusan Universitas Al Azhar, Mesir ini.
Mengenai Khilafatul Muslimin, Asep menilai banyak pihak yang menyalahgunakan isu ini untuk kepentingan tertentu.
“Terus siapa yang menjadi khalifah, nanti akan perang terus tak henti berebut menjadi khalifah,” tutur Asep.
Menurut Asep, khalifah adalah pemimpin, dan Indonesia sudah ada pemimpin yaitu presiden. Dan pemilihan presiden sudah ada mekanisme tertentu yang baku dan diterima semua pihak sehingga tak terjadi perang.
“Khalifah dalam bahasa bahasa Indonesia adalah pemimpin. Indonesia sudah punya pemimpin yaitu Presiden,” sambung Ketua Alumni Al Azhar wilayah Banten tersebut. (RUTE/republika)
0 Komentar :
Belum ada komentar.