Kolom

Komunikasi Tablig: Berkomitmen pada Kebenaran

Komunikasi Tablig: Berkomitmen pada Kebenaran

Oleh : Arsyul Munir 

Dosen Pascasarjana PAI di Institut Agama Islam (IAI) Tasikmalaya

 

Tablig dan Konsekuensi Seorang Muslim

 

Seorang muslim bukan sekedar membawa nama baik kemanusiaan tanpa konsekuensi apapun. Justru kebalikan dari itu, lebih dari segalanya, di atas normal. Maka keislaman adalah prinsip yang pengejawantahannya harus diakomodir oleh cipta, karsa, dan rasa manusia. Kecuali itu, ia merupakan penghayatan atas dua sisi kehidupan yang berlainan, lahiriah dan batiniah, yang memang menjadi langgam kediriannya secara serius. 

 

Di sisi lain, keislaman adalah jalan pintas menuju keutamaan. Tak ada instrument yang lebih pasti karenanya, selain dari gerak aktifitas yang nyata dalam praktek kehidupan, semenjak bermula dari pikiran, prilaku hingga ke urusan norma dan rasa. 

 

Dari sekian banyak konsekuensi seorang muslim itu adalah tabligh (menyampaikan risalah). Esensinya adalah soal meniru Nabi, di mana ia masuk ke dalam salah satu sifatnya yang terpuji, selain shiddiq, amanah, dan fathanah.  Dari pendekatan linguistik, istilah tablig ini merujuk pada kata dakwah. Jadi keduanya merupakan terma sinonim. 

 

Maka matlamat tertinggi dari kedirian seorang muslim direpresentasikan oleh kewajibannya untuk menyampaikan risalah atau berdakwah. Terlepas dari apapun profesinya; guru, dokter, pilot, desainer, saintis, fisikawan, manajer eksekutif, artis, pilot, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, neuro saintis, pedagang, supir, buruh, sekalipun tukang kuli bangunan –, maka konsekuensi tablig tetap melekat pada jiwa mereka secara adi kodrati. 

 

Sementara itu, dari aspek aksiologis, kosa kata tablig dapat diklasifikasi sifatnya ke dalam dua cakupan; pertama, parsial, kedua, universal. 

 

Yang pertama, dasarnya adalah surat At Taubah ayat 122, mengenai kewajiban tafaqquh fiddin secara tuntas, meluas, dan in detail. Tentu tidak semua muslim berkepentingan untuk menjadi seorang ulama dalam kategorinya sebagai pewaris para Nabi; pengayom, pembimbing, dan khadimul ummah. Karena itu, peran ini cukup diakomodir oleh sebagian representasi kaum muslim untuk menjaga agama ini dari segala macam penyimpangan (kredo, ideologi, kepercayaan, penafsiran, dst), kebodohan, dan tindak prilaku yang cenderung menihilkan lagi merusak tatanan sosial kehidupan. Bila sudah ada beberapa di antaranya yang konsen menekuni bidang tersebut (baik dari kaum akademisi maupun ulama intelek), maka gugurlah kewajiban yang pertama ini dari sebagiannya yang lain.   

 

Sementara yang kedua esensinya lebih merupakan kewajiban setiap individu muslim, tanpa terkecuali. Paling tidak, ada tiga alasan yang dapat dijadikan sebagai basis logika atas kenyataan tersebut; pertama, logika kredo keselamatan; kedua, logika bashirah, dan; ketiga, logika mahabbah. 

 

Tentang logika pertama, terambil dari surat Al ‘Ashr dimana esensinya menujukkan adanya tiga (3) kredo keselamatan (salvation) yang menjadi pilar kehidupan yang berkualitas di dunia lagi di akhirat. Bahkan saking fudamentalnya ayat tersebut, Imam Syafi’i ra. sampai-sampai berkelakar bahwa sekalipun dari Al Qur’an itu hanya diturunkan surat Al ‘Ashr saja maka ajarannya niscaya tetap akan dapat mencukupi dan menerangi semesta alam. 

 

Tiga rukun keselamatan yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut; (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling mewasiati dalam kebenaran dan kesabaran. Karena berdakwah merupakan ajakan untuk amar makruf nahi munkar, menyeru pada kebaikan dan kesempurnaan –, sejauh kemampuan dan kapasitas yang dimiliki, maka kewajibannya atas setiap muslim menjadi sangat makes sense. Kesadaran misi inilah yang sesungguhnya mulai memudar dari pikiran muslim (modern) yang tersandera oleh berbagai kemungkinan potensial yang merusak; kebodohan, kehendak hawa nafsu, dominasi ideologi yang menyimpang (syubuhat), dan kesombongan hati. 

 

Kecuali itu, terma bashirah pada basis logika selanjutnya menyiratkan beberapa hal; pertama, argumentasi yang valid; kedua, sikap yang apik, dan ketiga; nurani yang bersih. Tentu saja seorang muslim, idealnya harus memiliki ketiganya. 

 

Sebab bagaimanapun, kebenaran tersirat dari sebuah keyakinan selalu akan dinilai dari apa yang tersurat. Al Dzahir ‘unwanul batin. Itulah mengapa seorang muslim, apapun profesinya, seyogianya dapat mengkomunikasikan keindahan risalah Islam melalui bangunan kediria n fitrahnyyang bersifat kumulatif. Sehingga disadari atau tidak, suka maupun enggan, kewajiban tablig (berdakwah) sudah melekat jauh bahkan sebelum jiwanya terlahir ke dunia ini. 

 

Untuk melengkapi kenyataan tersebut, maka logika yang disampaikan Surat Ali Imran ayat 31 tentang implementasi rasa cinta manusia terhadap Rabb-nya dapat digunakan sebagai nalar pamungkas yang mengesankan ontologi tablig sebagai suatu keharusan yang bersifat transenden. Maka tak akan ada kecintaan tanpa pembuktian linear. Karena itu, mengaku mencintai Tuhan tanpa mengikuti rekam jejak dakwah historis Rasulullah Saw, adalah kesia-siaan belaka. 

 

Barangkali  manusia hari ini masih seutuhnya berada pada level moralitas yang rendah, bila risalah perenial ini sempat berhenti pada suatu waktu di masa lalu. Hanya karena gerak dan laku progresif para generasi awal lah, risalah tentang moralitas, religiusitas, spiritualitas dan lain seterusnya dapat tersampaikan, lalu terus-terusan dimaknai secara genuine hingga menjadi legacy ketuhanan yang berdimensi jariah, sampai kelak. Bertumpu pada fakta tersebut, maka sekali lagi, secara terpaksa maupun sadar, seorang muslim harus melanjutkan fungsi dan perannya dalam mendakwahkan Islam, sampai kaffah.  

 

Kebenaran dalam Keberanian yang Terukur

 

Dunia ini adalah medan tempur antara dua entitas kontradiktif yang takkan pernah lekang; hak versus batil, kebaikan versus keburukan, ma’ruf versus munkar, benar versus salah, dan lain seterusnya. Karena itu, peradaban manusia hari ini merupakan hasil dari proses dialektika panjang antar kebudayaan yang saling menihilkan, dus melelahkan. 

 

Maka opsi tersedia yang dapat disimpulkan dari seluruh perjuangan para pahlawan adalah dua hal; mati berkalang tanah atau hidup dengan kemuliaan. Itulah rumpus keberanian, yang tanpa reserved. Prinsipnya sederhana, berani menegakkan kebenaran, takutilah hanya Tuhan. Bila takut menyampaikan kebenaran, berarti berani menistakan Tuhan, mengkuduskan selain Tuhan.

 

Salah satu karakter paling hebat dari para Rasul, itu adalah keberaniannya melawan kebatilan. Sekalipun marabahaya mengancam kehormatan dirinya, mereka tetap merupakan teladan kritis paling tangguh yang patut ditiru segalanya. Musa versus Fir’aun, Shalih versus ‘Ad, Isa versus Yahudi, dan seterusnya, adalah representasi kesungguhan dari proses perlawanan yang berakhir manis; tegaknya keadilan, kemanfaatan dan kepastian di atas kebenaran. 

 

Paling tidak, ada beberapa pelajaran yang dapat dikutip dari sirah tersebut; pertama, seorang nabi dalam kategori penyampai sebuah pesan (muballigh) tidak laik dianggap sebagai nabi/rasul, bila mendiamkan dan/atau menyembunyikan kebenaran. Itulah mengapa dalam kondisi apapun, keberanian mereka dalam menegasikan kebatilan semakin mempertegas eksistensi kenabian para Rasul as, baik secara perkataan, perbuatan, maupun ketetapan kebijakan (taqrir).  kedua, fundament keberanian tersebut kembali pada beberapa aspek; kebijaksanaan pikiran (strategi jitu), kejernihan nurani (manajemen handal) dan satu hal lagi yang tak kalah penting adalah soal adanya janji penjagaan Tuhan (ketenangan batin). Karena itu, tak ada yang mampu membuatnya gentar dan mundur, kecuali hanya karena Allah Swt [Al Maidah : 67].

 

Situasi inilah yang agaknya membuat kita harus kembali berpikir sejenak untuk dapat mengkalkulasi segalanya secara objektif. Artinya, peragaan kebenaran oleh para penerus kenabian, sekalipun harus disampaikan secara berani, namun tentu masih memerlukan formula kalkulatif yang dapat menjamin akurasi ketersampaiannya secara presisif. Sebab alih-alih menebar rahmat, malah menyuburkan kemarahan dan kebencian yang merugikan posisi risalah dan umat secara umum. 

 

Satu sisi, cukup dapat dipahami sabda baginda Nabi Saw, bahwa menyampaikan kebenaran sekalipun pahit itu tidak berkorelasi dengan datangnya potensi kematian dan terputusnya rezeki –yang sampai batasan tertentu hal tersebut memang sudah menjadi stereotype khalayak umum –, namun demikian tetap diperlukan bagi pendakwah masa kini untuk menerapkan manajemen dakwah yang mengkalkulasi segalanya secara apik. Maka setidaknya, pesan risalah yang akan disampaikan tidak hanya akan dibalut oleh keberanian yang sembrono, tetapi justru memakai kualifikasi pengelolaan dakwah yang tersertifikasi secara metodis. 

 

Oleh karena itu, kecuali aspek keberanian, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mendukung kelancaran aktivisme tablig, di antaranya adalah sebagai berikut: pertama, memahami spektrum tablig (dalam maknanya yang universal), yaitu sekadar mengungkap kebenaran pada circle yang terbatas bermula dari objek lapisan inti paling terdalam (keluarga) hingga level paling terluar (others), secara berjenjang. 

 

Kedua, materi tablig yang disampaikan sebaiknya bersifat tematik, sejauh sesuai dengan kemampuan dan kompetensi pengetahuan yang tersedia. Di luar itu, tak termasuk bagian dari kewajiban tablig yang harus dilaksanakan. 

 

Ketiga, memahami positioning dari setiap audiens (mad’u atau mukhatab), sehingga dapat melakukan maping dan grouping terhadap perkembangan sosio-psikologis objek dakwah sebagai latarnya. Hal ini diperlukan untuk membuat pesan-pesan dakwah itu dapat tersampaikan secara tepat sasaran. Sebab sabda Nabi Saw, anzilinnas manazilahum; maka retorika, isi, metode dan gaya komunikasi seseorang dalam tablig haruslah bersenyawa dengan kenyataan personal pada dunia sekitar.

 

Keempat, mengetahui kapasitas pribadi sejauh mana dimungkinkan terlibat untuk menyampaikan kebenaran. Tentu akan berbeda antara kaum papa dengan seseorang dengan fasilitasi kekuasaan yang lengkap umpamanya, baik dilihat dari aspek dampak, jangkauan, hingga pengaruh. (مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ). 

 

Kelima, memahami tipologi tablig yang terbagi ke dalam dua jenis; maqal (ajakan lisan untuk berkomitmen kepada kebaikan dan kebenaran) dan hal (berkomitmen dalam bentuk perilaku tauladan). 

 

Bila kaidah tablig di atas sudah dipahami secara fungsional, maka kemungkinan potensi kericuhan antar sesama yang biasanya lahir sebagai akitab dari disfungsi pola komunikasi akan dapat dihindarkan. Sebab bagi kita kalangan awam, keberanian saja sudah barang tentu tak cukup, melaikan harus dibalut oleh sejumlah fakta lain yang bersinggungan pola manajemen dan strategi komunikasi/dakwah yang baik. 

 

Membangun Dakwah Komunikatif 

 

Dakwah komunikatif merupakan pendekatan dalam penyampaian kebenaran dengan menekankan pentingnya komunikasi yang efektif dan inklusif. Tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang ajaran agama dan membangun kesadaran spiritual tanpa menggurui atau memaksakan keyakinan. 

 

Pendekatan ini mendorong dialog, tanya jawab, dan diskusi terbuka sehingga audiens dapat aktif terlibat dalam proses pemahaman agama. Dakwah ini juga menekankan adaptasi pesan agama sesuai dengan konteks sosial dan budaya, sehingga pesan tersebut relevan dan dapat diterima oleh audiens. 

 

Dalam praktiknya, dakwah komunikatif mencakup beberapa prinsip utama, yaitu:

  1. Kesadaran Konteks: memahami bahwa pesan-pesan agama harus disampaikan dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan politik di mana audiens berada. 
  2. Penggunaan Bahasa yang Sederhana: kebenaran agama mestilah disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh audiens. Bahasa yang sederhana dan jelas membantu meningkatkan pemahaman dan mencegah kebingungan.
  3. Dialog dan Diskusi: esensinya harus mendorong terjadinya dialog, tanya jawab, dan diskusi terbuka. Penyampai tidak hanya berbicara kepada audiens, tetapi juga mendengarkan pertanyaan dan pandangan mereka. Hal ini memungkinkan audiens untuk aktif terlibat dalam proses belajar dan pemahaman.
  4. Kesabaran dan Kepedulian: berupaya bersikap sabar dan peduli terhadap audiens, terutama jika ada perbedaan pendapat atau pemahaman yang berbeda. 
  5. Penciptaan Ruang Aman: pandai menciptakan ruang aman bagi audiens untuk berbicara dan mengungkapkan pandangannya tanpa takut dicemooh atau dikecam.

Dakwah komunikatif juga menekankan pentingnya penggunaan media dan teknologi modern untuk mencapai audiens yang lebih luas. Melalui media sosial, siaran televisi, dan platform online lainnya, pesan-pesan dakwah dapat diakses oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk generasi yang lebih muda. Ini memungkinkan pesan kebenaran tersebut untuk disebarkan dengan lebih efektif dan relevan dengan tren komunikasi saat ini.

 

Dengan demikian, ia memiliki peran penting dalam menjembatani perbedaan agama, mempromosikan harmoni sosial, dan mengedukasi audiens tentang nilai-nilai agama secara lebih efektif. Melalui pendekatan ini, ia juga berusaha membangun pemahaman agama yang lebih mendalam, meningkatkan toleransi, dan mempromosikan perdamaian di antara berbagai kelompok religius yang ada, mengatasi miskonsepsi dan stereotip agama, serta menciptakan kerjasama antar kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.

 

Wallahu A’lam Bish Shawab.[]

0 Komentar :

Belum ada komentar.