Nasional

Pakar Terorisme : Tidak Mau Mendengar Musik Bukan Ciri Teroris

Pakar Terorisme : Tidak Mau Mendengar Musik Bukan Ciri Teroris

RUANGTENGAH.co.id, Jakarta - Nur Huda Ismail, pakar terorisme yang mengajar di Universitas Nanyang Singapura, menegaskan bahwa sikap skeptis terhadap santri penghapal Al Quran yang tidak mau mendengar musik, sangat tidak bisa dimengerti. Apalagi ketika hal itu sampai dikaitkan dengan isu terorisme.

''Itu sikap berlebihan dan hanya akan menimbulkan Islamofobia yang akut di negara kita. Memang ada sekompok Islam yang suka itu, lazimnya ada di kelompok yang berpaham salafi. Tapi kelompok Islam lain yang lagi belajar menghafal Al Quran juga banyak bersikap begitu. Ini dilakukan untuk menjaga hafalannya,'' kata Nur Huda Ismail dalam wawancara dengan Republika Rabu pagi, (15/9).

Nur Huda Ismail adalah alumnus Pesantren Ngruki. Ia mendapatkan gelar doktor dari Univeritas Monash Australia dengan disertasi tentang terorisme.

Ia mengatakan bahwa tentang menghapal Al Quran ini memang ada literatur dari Imam Nawawi yang menyebutkan bahwa jika ingin mudah menghafal Al Quran maka sebaiknya telinga digunakan hanya untuk mendengarkan hal-hal yang baik-baik saja.

''Nah, kalau para santri itu menyamakan hal-hal tak layak didengarkan oleh telinga sebagai cara untuk menghafal Al Quran itu musik, ya, pilihan mereka, hak asasi mereka. Jadi, jangan dipandang sinis,'' ujarnya.

Pandangan nyinyir atau sinis menurut Huda hanya akan menimbulkan masalah dan perpecahan sosial.

''Negara dan pemerintah atau lembaga agama harus memberi tahu dan mencegahnya. Itu hanya sikap gak suka musik kok. Itu selera. Untuk jadi seorang teroris banyak sekali macam tahapannya. Enggak bisa dari satu sisi indikasi saja. Sekali lagi, sikap ini hanya menjadi Islamofobia. Ini berlebihan,'' ujarnya.

Tanda Islamofobia

Senada dengan Huda, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Al Chaidar Abdurrahman Puteh mengatakan bahwa sikap para santri yang menutup telinga saat akan mengikuti vaksinasi jangan dipandang berlebihan, apalagi sampai menyebut mereka dengan calon teroris, Taliban, ISIS, Alqaeda dan sejenisnya.

''Itu tuduhan ngaco. Apa-apaan kok menarik-narik pada soal teroris? Di situ yang benar itu tindakan konservatisme biasa yang berangkat dari kultur santri biasa. Lazimnya mereka santri tahfidz (penghafal Alquran--Red) biasa. Mereka memang menjaga sekali pendengarannya agar setoran bacaan yang dihapalnya tak hilang,'' kata Al Chaidar yang berada di Univeritas Leiden, Belanda, untuk melakukan penelitian tentang Darul Islam, kepada Republika, Selasa (14/9).

Al Chaidar menyebut bahwa menghubung-hubungkan sikap para santri tersebut dengan terorisme merupakan tanda adalnya islamofobia, bahkan sangat berlebihan. Ia juga mengatakan bahwa para santri akan tersudutkan dengan sikap-sikap seperti itu.

Dalam wawancara itu Al Chaidar menambahkan bahwa konservatisme berbeda dengan sikap dukungan terhadap terorisme. Apalagi terdapat khilafiyah atau perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum mendengarkan musik.    

''Sekali lagi, jangan terlalu gampang simplikasi masalah. Ini termasuk Islamofobia yang akut,'' tegasnya. (RUTE/AA/REPUBLIKA)

Tags: -

0 Komentar :

Belum ada komentar.