Kolom

Pendidikan Fakultas Manusia

Pendidikan Fakultas Manusia

Oleh : Arsyul Munir

Dosen Pascasarjana PAI di Institut Agama Islam (IAI) Tasikmalaya

Fitrah Manusia

 

Semua dunia tercipta atas fitrahnya masing-masing. Semesta fisika dengan hukumnya (law of nature) dan dimensi metafisika dengan sunnah ilahiyah-nya. Termasuk salah satu makhluk Tuhan paling sempurna ,manusia, yang akan dibahas kali ini tak luput dari konstruk kepastian yang mengitarinya. Maka ada hubungan yang seharusnya terjalin secara komplementer; antara dunia-akhirat, material-spiritual, jiwa-raga, sacred-profane, agama-sains, nalar dan wahyu. 

 

Kesempurnaan manusia itu tentulah dapat mengambil beberapa perspektif yang saling berkelindan. Secara substantive, bidikan yang ingin diajukan di sini berkaitan dengan esensi kedirian manusia sebagai bekal material mengarungi kehidupan hari ini. Sebab dengan segala ketakpastian yang determinan (ketakberdayaan-kehilangan visi-kelangkaan sumber daya), manusia dipastikan –suka maupun benci–, harus dapat memenangkan langkahnya menuju kebahagiaan yang hakiki.

 

Dan semua perjuangan itu butuh strategi. Berawal dari pengetahuan tentang aspek epistemologi manusia itu sendiri, berujung pada dermaga tumpu-tolak-tuju sebagai konfigurasi akhir takdir kehidupan; pahala atau siksa. 

 

Itulah mengapa konteks penalaran manusia atas fakultas dirinya disebut para ulama sebagai mempengaruhi nilai konstanta kebahagiaan dan/atau keterperukannya kelak. 

 

Sementara itu sebagian manusia ada yang mengira dirinya sekadar materi. Atau sebagian lain mengira esensinya adalah makhluk spiritual an sich. Padahal risalah agama ini telah mengakui keduanya secara inheren. La syarqiyyata wala gharbiyyata.

 

Oleh sebab itu, selalu ada jalan ketiga untuk meproyeksikan kedirian manusia yang komposit atas 3 fakultas (Al Gazali) yang seharusnya saling bertautan; (1) faktultas nalar sebagai representasi dunia materi-lahiriah (burhani-diskursif, (2) fakultas hati yang mewakili dunia ruhani-batiniyah (isyraqy-iluminatif)), dan (3) hawa nafsu sebagai penguasa raga luar manusia (bayani-argumentative). Itulah Fitrah.

 

Relasi 3 Fakultas Manusia 

 

Kant pernah bilang bahwa ada postulate yang memaknai kehidupan ini lebih berarti. Namanya idea regulative; suatu regulasi yang menyatukan fenomena ketak-beraturan antar materi yang tampak dan ditangkap menjadi persepsi manusia. Maka bertolak dari sini, adakah sebetulnya pola hubungan baku antara nalar-hati dan nafsu?

 

Tentulah jawabannya positif. Analisisnya, biar lebih mudah dipahami, akan digunakan pendekatan metafor. Sebuah mobil. Benda ini selamanya akan diam bila tidak memiliki penggerak. Bahkan tak juga bisa disebut sebagai kendaraan jika dipartisi menjadi part-part kecil yang semrawut, berserakan.

 

Gambaran mobil inilah yang mengindikasikan substansi dan esensi manusia, as a whole totality. Di dalamnya ada mesin penggerak, rangka interior-eksterior, head unit, cairan pembakar atau baterei, dan lain sebagainya. 

 

Sederhananya, nalar manusia itu ibarat motornya. Mesin penggerak yang menghidupi lalu menjalankan. Tapi hatilah yang men-drive. Mengerem, berkelok kanan atau kiri, dan berhenti di saat yang tepat. Sementara nafsu seperti bahan bakar (a fuel) yang memantik logika perjalanan hidup/matinya manusia. Kehilangan salah satu part tersebut tentu berakibat fatal. Mogok di jalan, tabrakan, masuk jurang. Kecelakaan. 

 

Tragedi kehidupan manusia yang terjadi massif hari ini, berbekal metafor sebelumnya, bisa dikembalikan kepada beberapa faktor; (1) ketidak tahuan akan hakikat kedirian manusia, atau (2) disfungsionalitas part dari salah satu fakultas manusia, atau (3) malfungi yang direkayasa secara sengaja oleh kehendak bebas manusia yang hatinya tertutup.  

 

Penyakit Akal dan Hati

 

Setiap yang hidup pastilah ada hambatannya. Sebagaimana raga yang sehat dapat tiba pada kematian akibat beragam penyakit dan lain seterusnya, maka hal yang sama bisa berlaku pada fakultas akal dan hati manusia. Pelajaran moralnya adalah jangan sampai akal dan hati kita pun penyakitan. Lebih buruk dari itu, mengalami kematian. Pada akhirnya seperti zombie, hidup namun mati. Mati tapi hidup. Bahkan ketiga raga ini masih sehat. Itulah tanda awal kemanusiaan manusia mulai lusuh, hilang, bahkan tiada. R.I.P. 

 

Kebaikan apakah yang diharapkan dari kehidupan dunia yang seperti ini? Kiamat kecil. Atau mungkin malahan dampaknya lebih buruk. 

 

Maka dari itu, patutlah dikenali sedini mungkin berbagai penyakit yang dapat menerpa akal dan hati manusia, dengan cara deteksi, identifikasi, dan antisipasi semenjak dari aspek teoritis hingga implementatifnya. 

 

Akar dari segala penyakit itu adalah kesombongan. Manifesnya dari sudut pandang nalar sangat beragam, mulai dari; eksklusifisme (merasa diri paling benar), fanatisme (tertutup dari kemungkinan menerima kebenaran lain), relativisme (hilangnya keberpihakan pada standar kebenaran baku), radikalisme (ungkapan tentang kebenaran dengan cara yang munkar), liberalisme (kredo kebebasan tanpa aturan dan batasan), terorisme (persekusi kebenaran lain dengan tindak perilaku anarki), dan lain sebagainya. 

 

Sementara itu, manifesnya pada wilayah hati ditenggarai dengan kemunculan penyakit batin yang disinyalir Al Gazali berjumlah 10 butir; syirik, iri, dengki, berhati kasar, riya, merasa saleh, merasa paling suci, gibah, angkara murka, serta takabbur. 

 

Bila penyakit lahir akan sirna seiring dengan kemusnahan raga, namun tidak dengan dua penyakit akal dan hati. Spektrumnya justru lebih meluas, kemanusiaan (habl minan nas) dan keilahian (habl minallah). Dampaknya, tidak hanya terasa semenjak di dunia, tetapi juga akan menentukan nasib seseorang kelak sampai ke akhirat. 

Maka, berhati-hatilah dengan akal dan hati kita. 

 

Mendidik Akal, Hati dan Hawa Nafsu ala Rasulullah Saw.

 

Agar berislam secara kaffah, maka kita harus mengoperasikan segala fakultas manusia itu dengan baik dan benar. Satu-satunya metodologi untuk melawan dan mengawal hal tersebut adalah keteladan rasulullah saw. Sebab kesempurnaan manusia itu sekedar teori belaka bila tak dapat meneladani nalar praktis sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.

 

Akal itu berjalan di atas dua prinsip; kausalitas dan finalitas. Berhenti pada salahsatunya akan mengakibatkan ketak seimbangan hidup (social, budaya, ekonomi, politik dst). Hasil akhirnya adalah ketimpangan social, kesenjangan ilmu pengetahuan, kekisruhan kekuasaan, dan kecarut-marutan dunia fisika. Teknologi, alih-alih memberi kemanfaatan, malah meleburkan peradaban. 

 

Itulah mengapa untuk menyadarkan nalar manusia, Islam telah memagarinya dengan terminology IQRA, atas nama Tuhan, untuk memuncukan model pembacaan baru yang senantiasa introspektif, evaluative, dan progressive. Sebab dunia ini hanya diisi oleh tiga kategori dimensi ; al mahsussat (empirikal), al ma’qulat (rasional), dan al ghaibiyat (intelektual), maka nalar manusia harus dijejali dengan epistemology bacaan yang mampu mengobservasi dan mengelaborasi hal tersebut. Instrumen teknis eksploratifnya adalah tafakkur, ta’aqqul, dan tadabbur. Sehingga dari itu akan memunculkan ragam jenis bacaan yang komprehensif : (1) pendekatan observasi yang bertitik-tuju pada keimanan, (2) pendekatan observasi yang bertitik-tuju pada “kekhilafahan”, (3) pendekatan observasi yang bertitik-tuju pada kehambaan. Itulah Islam, Iman, Ihsan. 

 

Di sisi lain, hati manusia dibangun atas kesadaran yang lebih transformative bahwa keimanan rasional saja tak mungkin cukup untuk bisa mengecap manisnya penghambaan diri kepada Tuhan, Allah Swt. Bila kita mengetahui bahwa gula itu manis, maka hanya lidah kitalah yang memiliki pengalaman meyakinkan merasai kenikmatan gula tersebut.

 

Persis demikian, hati manusialah yang pada akhirnya mampu mengecap manisnya iman, shalat, zakat, puasa, kesalehan individual-sosial, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang disebut dalam narasi mistisisme Islam sebagai mukasyafah, suatu kondisi hati yang mengalami ekstase ahwal. Nama lainnya adalah futuh. Istilah Al Qur’annya, al insyirah. 

 

Hanya saja, kondisi itu tak mudah digapai oleh hati yang masih kotor. Maka perlu pembersihan hati, penyucian jiwa. Proses ini layaknya pendidikan akal yang memiliki motto, long live education. Maka tak bisa instant. Sebab ada beberapa protap yang harus dilakukan dengan ragam metodologi pendekatan (al wasilah) yang juga mesti diinternalisasi. Sederhananya, ada tiga tahapan agar hati kita menjadi wadah yang siap menerima waridat ilahiyah-nya Allah swt, yaitu; takhalli (pembebasan diri dari segala macam penyakit pikiran dan batin), tahally (penghiasan diri dengan keseluruhan asma-nya Allah swt), dan tajally (penampakan kejati-dirian manusia yang sempurna - Al Insan Al Kamil) mengikuti keajegan dari keteladan rasulullah saw. Semua ini bisa terbantu dieksternalisasikan melalui dua jalan;  pertama, jalan riyadlah (olah spiritual), dan kedua, jalan mujahadah (olah intelektual). 

 

Menjadi Generasi Manusia Ulul Albab

 

Pada akhirnya, jika ke dua aspek nalar dan hati ini terdidik dengan sempurna maka dengan sendirinya hawa nafsu manusia pun akan semakin bergeser ke tingkatan yang lebih tinggi lagi ; radiyah-mardliyyah-muthmainnah. Di titik inilah, generasi manusia Ulul Albab itu akan senantiasa menebar rahmat, kasih-sayang, etos kerja unggul, dan karakter profetik yang dapat memicu peradaban dunia bergerak kembali memancarkan cahaya Tuhan yang memberkahi. Cahaya di atas cahaya. 

 

Allah Swt, berfirman : 

 

إنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُولِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

 

Demikian. Wallahu ‘Alam Bisshawab.[]

0 Komentar :

Belum ada komentar.