Internasional

Pidato di PBB, Menlu Retno Serukan Reformasi Dewan Keamanan dan Kritik Hak Veto

Pidato di PBB, Menlu Retno Serukan Reformasi Dewan Keamanan dan Kritik Hak Veto

RUANGTENGAH.co.id, New York - Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyerukan reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) dengan tujuan agar kepentingan negara-negara berkembang lebih terwakili dalam tata kelola global. 

 

Seruan yang berani ini disampaikan Menlu Retno dalam pidatonya pada pertemuan Summit of the Future di markas besar PBB, New York, Senin (23/9), di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB.

 

Menlu Retno menekankan pentingnya pembaruan Dewan Keamanan PBB, arsitektur finansial global, dan sistem perdagangan multilateral. Menurutnya, reformasi ini diperlukan agar tata kelola global menjadi lebih adaptif, responsif, dan efektif, serta mampu memperhatikan suara negara berkembang. 

 

"Sistem multilateral harus inklusif, dengan memperhatikan kepentingan negara-negara berkembang," ungkapnya dalam keterangan pers dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI.

 

Dalam sesi dialog, Menlu Retno kembali menegaskan pentingnya perubahan dalam sistem multilateral, termasuk Dewan Keamanan, demi mewujudkan representasi yang lebih adil bagi negara-negara berkembang. 

 

"Kita harus bekerja sama untuk mewujudkan perdamaian, kemakmuran, dan keadilan bagi generasi mendatang," tegas Menlu.

 

Soroti Gaza dan Kritik DK PBB

 

Selain menyoroti pentingnya reformasi DK PBB, Menlu Retno juga memanfaatkan forum internasional ini untuk menyoroti situasi di Gaza. 

 

Menlu Retno mengecam serangan yang masih terus dilancarkan Israel tanpa sedikitpun mengindahkan seruan PBB dan komunitas internasional. Menlu menegaskan bahwa aksi tersebut harus dihentikan demi terciptanya perdamaian dan stabilitas dunia. 

 

“Perdamaian hanya bisa terwujud jika hukum internasional ditegakkan tanpa adanya standar ganda,” tegasnya.

 

Dilansir Kumparan.com, banyak kritik yang selama ini diarahkan kepada Dewan Keamanan PBB, terutama terkait :

Pertama, hak veto yang tidak adil. Lima anggota tetap DK PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis memiliki hak veto, yang memungkinkan satu negara memblokir keputusan meski mayoritas mendukung. Banyak yang menganggap ini tidak adil karena menghambat pengambilan keputusan yang lebih demokratis.

Kedua, komposisi yang usang. Anggota tetap mencerminkan situasi geopolitik pasca Perang Dunia II, tidak relevan dengan dunia saat ini. Negara-negara berkembang dan ekonomi besar seperti India, Brasil, serta negara-negara Afrika tidak memiliki representasi tetap, meski memiliki pengaruh besar dalam politik global.

Ketiga, respons yang lambat terhadap krisis global. DK PBB kerap dikritik karena tidak mampu merespons cepat dalam situasi krisis, seperti konflik di Suriah, Palestina, dan invasi Rusia ke Ukraina, akibat perbedaan kepentingan di antara anggota tetap.

Keempat, kurangnya transparansi. Keputusan DK PBB sering dianggap diambil secara tertutup, dengan negosiasi di balik layar yang mengabaikan kepentingan negara-negara kecil dan rakyat yang terdampak.

Usulan reformasi DK PBB mencakup penambahan anggota tetap, pembatasan penggunaan hak veto, serta peningkatan representasi negara berkembang agar lebih sesuai dengan kondisi global saat ini. 

 

Namun, upaya reformasi ini menghadapi tantangan besar, karena perubahan hanya bisa dilakukan dengan persetujuan anggota tetap yang cenderung mempertahankan status quo. 

 

Tak Hanya dari Indonesia

 

Dalam pertemuan Summit of the Future, kritik tidak hanya datang dari Indonesia saja, melainkan dari banyak negara lainnya seperti India, Turki, Afrika Selatan dan Brazil. 

 

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menyebut bahwa DK PBB saat ini memiliki struktur yang ketinggalakn zaman dan eksklusif. Menurutnya, DK PBB perlu melibatkan negara-negara Afrika dan pihak lainnya dalam setiap pengambilan keputusan. 

 

Senada dengan itu, Presiden Brazil, Lula da Silva menilai bahwa reformasi yang komprehensif adalah jalan yang penting untuk ditempuh setelah Piagam PBB gagal mengatasi beberapa masalah kemanusiaan yang sangat parah dan membutuhkan solusi mendesak. 

 

"Perlu peninjauan dan revisi menyeluruh terhadap Piagam tersebut, dengan fokus pada struktur, metode kerja, dan hak veto Majelis Umum," tegas Lula da Silva. [RUTE]

 

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.