Oleh : Dr. Fery Ramadhansyah, Lc., MA
Doktor Bidang Syariah Islam, Cairo University
Saya tidak suka main bola. Saya tidak suka minum kopi. Saya tidak suka makan bakso. Saya tidak suka memakai dasi. Tapi, apakah orang lain yang suka semua itu disebut telah menghalalkannya.
Mungkin ada yang jawab begini, "Beda dong dengan musik, kalau soal bola, kopi, bakso, dasi itu kan emang ngga dijelaskan dan tidak ada dalilnya. Jadi hukumnya ya boleh-boleh aja".
Agar mudah memahami hukum musik, coba kita perhatikan kisah berikut ini ;
"Satu ketika beberapa orang sahabat Rasul berkumpul untuk menyantap makanan. Di antara mereka ada Sa'ad bin Abi Waqash. Lalu mereka pun makan. Saat makan, salah seorang isteri rasul mengatakan, “Itu daging biawak (dhabb)", lalu merekapun berhenti memakannya. Lantas, Rasul berkata, ”Makanlah, itu halal. Tidak apa-apa dimakan. aku tidak memakannya karena itu bukan makananku".
Kisah ini terdapat dalam riwayat Sahih Bukhari, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika Rasul dihidangkan makanan, saat tahu itu adalah daging biawak, Rasulpun tidak jadi memakannya. Lantas khalid bin Walid bertanya, apakah karena haram. Rasul menjawab, “Tidak, hanya saja, ditempatku tidak terbiasa memakanya.” Lalu, Khalid pun memakannya dan Rasul melihatnya.
Hadis di atas memang bukan tentang hukum mendengarkan musik. Hadis itu tentang halalnya makan biawak. Kehalalan tersebut dipahami dari perintah Rasul untuk memakannya, atau sikap beliau yang tidak melarangnya.
Pelajaran yang bisa diambil di sana adalah, Pertama; tidak semua yang tidak disukai berarti haram. Kedua; pada dasarnya hukum sesuatu itu mubah. Ketiga; satu hal yang mubah, dikerjakan atau ditinggalkan tergantung selera masing-masing.
Sekarang mari kita ulas hukum musik itu sendiri. Pertanyaannya, apakah ulama sepakat mengharamkannya. Jika tidak, bagaimana sikap kita dalam mengambil hukumnya.
Satu hal yang disepakati ulama, haram mendengarkan musik manakala diiringi lagu/syair yang mengandung maksiat. Lalu, mereka berbeda pendapat tentang lagu dan musik. Ada yang bilang, hanya lagu tanpa musik saja yang dibolehkan. Yang lain bilang, mau dengan musik atau tidak, tetap dilarang. Sebagian lagi mengatakan, baik dengan musik ataupun tidak, boleh saja.
Perbedaan ini muncul karena dua indikasi. Pertama, ada dalil yang jelas dipahami, tapi tidak sahih. Kedua, ada dalil yang sahih, tapi tidak jelas dipahami. Inilah yang menyebabkan muncul asumsi hukum. Masing-masing ulama berijtihad melalui dali zanni (sebatas dugaan). Lalu mereka menyimpulkan hukum yang berbeda-beda.
Bagi yang setuju musik itu boleh, alasannya;
Pertama : Keumuman QS. Al Baqarah : 29 bahwa Allah membolehkan kita memanfaatkan apapun yang di muka bumi. Sepanjang tidak ada yang melarang, maka seluruh benda apapun di muka bumi ini adalah mubah. Sebab, semua yang diharamkan sudah diterangkan, seperti disebutkan dalam QS. Al An'am : 119.
Kedua : Riwayat Abu Daud, Rasul bersabada, “Apa yang dihalalkan Allah berarti halal, apa yang diharamkan bararti haram, apa yang didiamkan ( tidak dihalalkan atau diharamkan) berarti itu suatu kemaafan". Dalam riwayat Tabrani disebutkan, " ...dan Allah mendiamkan sesuatu adalah menjadi rahmat buat kamu, maka jangan dicari-cari (larangannya)". Hadis ini mengisyaratkan bahwa ketiadaan pernyataan jelas satu hukum membuat hukum itu menjadi mubah.
Ketiga : Kaidah fikih menyebutkan, “Hukum dasar sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya". Di sini, tidak ada dalil pengharaman musik. Artinya, mendengarkan musik, selama tidak berkaitan dengan unsur yang haram, maka hukumnya mubah.
Bagi yang menolak, dan mengatakan musik itu haram, alasannya :
Pertama : Kata "lahwa al hadis" di QS. Luqman : 6, dan kata “Laghw" di QS. Al Qasas : 55 ditafsirkan sebagai lagu.
Kedua : Riwayat Ahmad, kata rasul “Semua hal (permainan) yang menyibukan adalah batil, kecuali tiga hal ; memanah, melatih kuda dan bercanda pada anak dan isteri". Kalimat "sya' yalhu bihi ar rajul" dipahami sebagai apa saja yang membuat lalai. Dipahami di sana, musik lagu juga termasuk.
Menurut kelompok ulama yang membolehkan musik, dalil yang dikemukakan tentang keharaman musik tidak bisa diterima. Hal ini dikarenakan ;
a. Tafsiran kata/kalimat “Lahwa al hadis" yang artinya percakapan kosong, Ibnu kasir mengartikannya sebagai "budak perempuan yang disuruh menyanyi". Adapun kata "laghw" artinya perkataan yang batil. Kedua alasan tersebut tidak bisa dijadikan dalil keharaman lagu/musik. Sebab, bisa jadi yang dimaksudkan adalah larangan membeli budak wanita tersebut untuk dijadikan penghibur. Selain itu, tidak semua lagu berupa perkataan yang batil.
b. Hadis yang dikemukakan derajatnya lemah (daif). Andaipun sahih, namun larangan tersebut bukan menunjukan haram, hanya kurang bermanfaat saja. sebab banyak lagi aktifitas yang bermanfaat selain tiga hal tersebut.
Di samping itu, ada beberapa hadis sahih yang membolehkannya, seperti riwayat yang menerangkan saat Rasul meminta Abu Bakar agar membiarkan dua budak perempuan sedang bersenandung di rumah Rasul ketika Hari Raya Id.
Disamping itu, dalam prinsip hukum islam, sesuatu yang boleh biasanya ada manfaatnya.
Lantas bagaimana menyikapi dua perbedaan pandangan ulama tersebut. Kembalikan status hukum musik pada bentuk aslinya yaitu mubah. Setiap orang bebas melakukan dalam perkara mubah. Tidak ada konsekwensi dosa atau pahala.
Bahwa kemudian ada yang mengharamkan, mungkin dinilai mengandung mudarat saat dilakukan. Sementara yang membolehkan, karena mudarat dan manfaatnya kecil atau tidak ada. Tentu, jika ada yang berpendapat mendengarkan Al Quran lebih baik daripada mendengarkan musik maka itu bagus. Namun, bukan berarti saat mendengarkan musik menjadi haram.
Mendengarkan musik layaknya seperti aktifitas harian yang kita lakukan. Sepanjang bukan satu hal yang mudarat, berarti dianggap baik (tayyib), dan Allah membolehkan memanfaatkan apapun yang dianggap tayyib.
Pun demikian, satu hukum yang mubah bisa berubah menjadi haram ketika secara jelas bertentangan dengan prinsip syariat. Sebaliknya, satu hukum yang haram bisa berubah menjadi mubah ketika dalam kondisi kebutuhan.
Oleh karenanya, pernyataan menghalalkan musik pun kurang tepat. Sebab, pada dasarnya hukum musik adalah mubah.[]
0 Komentar :
Belum ada komentar.