Opini

Syekh Ibnu Taimiyah Adalah Seorang Mujtahid

Syekh Ibnu Taimiyah Adalah Seorang Mujtahid

Oleh : Dr. Fery Ramadhansyah, Lc. MA.

Doktor Bidang Syariah Islam, Cairo University, Mesir

 

Semua Ahlussunnah sepakat, tidak ada manusia yang maksum kecuali nabi. Apa yang diucapkan seseorang bisa benar bisa salah. Jika benar maka boleh diikuti, jika salah silahkan ditinggalkan. Begitu dalam prinsip mengamalkan hukum islam. Karena dalam sebuah hadis disebutkan, "jika seorang hakim berijtihad, apabila ia benar maka dapat dua pahala, namun apabila salah ia dapat satu pahala".

 

Menjadi tidak adil, ketika menilai seseorang hanya diri sisi salahnya saja. Begitu juga jika kita menilai dari sisi benarnya saja. Tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. 

 

Begitulah yang terjadi pada Ibnu Taimiyah. Dengan keluasan ilmu yang beliau miliki, tanpa menafikan beberapa pandangan (ijtihad) beliau yang berbeda dari mayoritas ulama, beliau adalah sosok ulama Fikih yang Mujtahid. Karya-karya beliau di bidang fikih, misalnya Majmu' Fatawa telah memberikan khazanah fikih yang luar biasa bagi umat. 

 

Terlepas, ada anggapan sebagian kalangan yang menyatakan ulama tertentu adalah bermazhab "A" atau bermanhaj "B", bagi saya pribadi, saat membaca karya-karya setiap ulama, maka saya akan melihat sisi positif dari kontribusi yang telah diberikan. Tanpa, terlalu dalam terlibat pada emosional golongan, sebab itu akan membuat kita menjadi fanatik, sementara sikap fanatisme ini diperingatkan dalam islam. 

 

Ketika seorang telah fanatik "A" atau "B", maka ia cenderung melihat sisi kekurangan golongan lain. Sehingga timbul fitnah di kalangan umat. Padahal, jika mau jujur andai bukan karena mereka, para ulama, maka saat ini kita bukan siapa-siapa, bahkan tidak tahu apa-apa tentang Islam. Inilah kenapa kita dituntut harus bersikap adil kepada para ulama siapapun mereka.

 

Bagaimana Ibnu Taimiyah

 

Dulu, semasa aktif kuliah di Darul Ulum, Universitas Kairo, salah satu dosen saya Prof. Dr. Ahmad Muwafi sering menyampaikan tentang sosok Syekh Ibnu Taimiyah. Dalam salah satu penelitian beliau saat S2, beliau pernah mengulas metodologi yang dipakai oleh Ibnu Taimiyah dalam mengistinbtah hukum fikih. Sampai pada kesimpulan, bahwa Syekh Ibnu Taimiyah adalah seorang Mujtahid Muntasib (Mazhab) dalam fikih mazhab Hanbali.

 

Ibnu Taimiyah termasuk sosok ulama tekstualis seperti halnya Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun terkadang dalam sebagian kesimpulan hukumnya berbeda dengan Mazhab Hanbali bahkan dengan Jumhur ulama. Beliau mengedepankan pemahahaman Nash (Al Quran dan Sunnah) daripada sumber hukum lainnya, seperti Ijma, qiyas dan lainnya. 

 

Menurut Ibnu Taimiyah, ketika terjadi pertentangan antara Nash dengan dalil lain, maka harus didahului kesimpulan hukum apa yang ditetapkan oleh Nash. 

 

Salah satu contoh misalnya, tidak ada batasan jarak untuk menqashar salat. Ini berdasarkan keterangan QS An Nisa ayat 101 dan hadis Umar bin Khattab yang menerangkan bahwa salat qashar dilakukan dua rakaat. Pada kedua nash tersebut dinyatakan bolehnya pelaksanaan qashar salat secara mutlak.

 

Tidak ada riwayat hadis yang menyebutkan secara khusus jarak perjalanan yang boleh mengqashar salat. Jikapun ada, riwayat itu dianggap lemah, seperti riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, riwayatnya bertentangan satu sama lain, tidak ada yang bisa ditarjih. Oleh karena itu dikembalikan pada keumuman riwayat yang membolehkan safar tanpa batasan jarak. Sepanjang menurut uruf (kebiasaan) safar (perjalanan) disebut bepergian yang perlu bekal, maka dibolehkan qashar salat.

 

Pendapat ini berbeda dengan Jumhur (Maliki, Syafii dan Hanbali) yang menetapkan batasan jarak 48 mil (sekitar 80 km) / 4 burud (sekitar 85 km), dan Hanafi yang menetapkan batasan masa perjalanan dengan jumlah hari yaitu 3 hari 3 malam.

 

Meskipun Ibnu Taymiah termasuk kalangan tekstualis, beliau bukan Zahiri. Mengedepankan Nash bukan berarti tidak memakai dalil lain sperti qiyas. Hanya saja, dalam pandangan beliau, Jika qiyasnya sejalan dengan Nash maka disebut qiyas sahih, jika bertentangan maka disebut qiyas fasid. Dalam hal ini, acuan hukum terhadap nash menjadi prioritas, meski dalam qiyas sekalipun.

 

Salah satu contoh misalnya, Syekh Ibnu Taimiyah membolehkan menyewa hewan untuk diambil susunya. Ini diqiyaskan dengan bolehnya mengambil upah bagi ibu susuan seperti dalam QS At Talaq ayat 6. Sementara, menurut Jumhur hal ini dilarang sebab akad sewa menyewa hanya berlangsung pada manfaat bukan benda (a'yan). Susu dalam hal ini bukan termasuk manfaat melainkan benda.

 

Walaupun Ibnu Taimiyah identik dengan nash, namun tidak terjebak dalam pemahaman teks semata. Dalam beberapa kesimpulan hukumnya, beliau juga memperhatikan maqashid (tujuan/hikmah) hukum syariat tersebut. Misalnya, pendapat beliau yang membolehkan tas'ir (penetapan harga jual barang) yang dilakukan pemerintah. 

 

Bagi jumhur, berdasarkan hadis "Innallaha huwal musa'ir" harga jual diserahkan kebebasan pedagang untuk menetapkannya sesuai hukum permintaan dan penawaran pasar. Namun menurut beliau, hal ini dibolehkan manakala menyangkut kebutuhan pokok, agar pedagang tidak semena-mena, khususnya jika terjadi inflasi.

 

Kecenderungan beliau memutuskan hukum berdasarkan teks, menempatkan teks di atas dari semuanya. Hal ini dianggap bahwa apa yang ditetapkan berdasarkan teks, jika itu terdapat maslahat yang lebih besar maka boleh diamalkan. 

 

Dalam satu kasus fikih misalnya, menurut beliau ASI yang diberikan pada usia dewasa juga memberikan efek hukum bagi yang meminumnya menjadi Mahram. Ini berdasarkan keterangan riwayat Imam Muslim dari  Aisyah r.a tentang Salim Maula Abi Huzaifah. Bagi jumhur hadis ini khusus berlaku untuk Salim saja. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah ini berlaku untuk siapa saja jika tindakan itu diperlukan.

 

Sebagai kesimpulan, Prof.Dr. Ahamad Muwafi menyatakan bahwa Syeikh Ibnu Timiyah adalah sorang faqih (mujtahid) Mazhab. Dengan penguasaan Ushul fiqh mazhab Hanbali, meski terkadang menggunakan sadd ad-dzariah seperti Imam Maliki, berpandangan sama tentang Ijma seperti Imam Syafii, namun beliau tidak bertaklid terhadap salah satu mazhab. Dari sana, beberapa putusan hukum yang disimpulkan ada yang tidak sejalan dengan kesimpulan mazhab.

 

Sikap Adil

 

Di sini pentingnya literasi. Melihat sosok ulama dengan kacamata objektif lebih selamat bagi kita untuk menilainya. Terkadang keterbatasan wawasan kita sering menilai sepihak. Terlebih lagi jika kita menilai dengan menggunakan sudut pandangan orang lain.

 

Rasanya tidak salah, bagi siapapun yang selama ini terjebak pada pemahaman golongan untuk kembali pada prinsip Al Quran yang menyatakan "i'dilu huwa aqrab littaqwa”, berlaku adil-lah karena hal itu lebih dekat kepada takwa.

 

Hati-hati dengan sifat taklid. Biasanya hal itu lahir dari asumsi (zann). Sementara Al Quran menyatakan "Inna ba’dha az zanni itsmu" sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan, taklid bisa terjadi pada siapa saja yang tidak membuka hati dan pikirannya untuk selalu membaca.

 

Jika tidak berilmu tentang satu hal, maka lebih baik tidak berkomentar negatif. Itu lebih selamat dari fitnah. Hati-hati jangan sampai fitnah tersebut diarahkan pada ulama Islam, siapapun dan dari golongan apapun ia. Semoga budaya literasi kita lebih baik lagi.[]

 

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.