RUANGTENGAH.co.id, Bangkok - Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, pada Kamis (24/10) secara resmi menyampaikan permohonan maaf terkait tragedi berdarah yang menewaskan 85 demonstran Muslim dua dekade lalu, sebuah tragedi yang hingga kini tidak pernah dituntaskan.
Paetongtarn Shinawatra menyampaikan bela sungkawa dan kesedihan mendalam serta permohonan maaf atas nama pemerintah Thailand. Tragedi ini terjadi pada masa pemerintahan ayahnya yaitu Thaksin Shinawatra, seorang figur kunci dalam Partai Pheu Thai yang berkuasa.
Insiden yang dikenal sebagai "Pembantaian Tak Bai" ini terjadi di Tak Bai, Thailand Selatan, pada 2004, ketika kerusuhan terkait gerakan separatis Muslim Melayu di wilayah tersebut tengah memanas. Tindakan keras aparat keamanan di sana berujung pada salah satu tragedi paling tragis dalam sejarah konflik ini, di mana lebih dari 7.600 orang tewas sejak peristiwa tersebut.
Peristiwa Tak Bai bermula ketika pasukan keamanan Thailand menembaki kerumunan pengunjuk rasa di depan kantor polisi di Narathiwat, provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim.
Tujuh pengunjuk rasa tewas dalam penembakan itu, sementara 78 lainnya kehilangan nyawa karena mati lemas setelah ditumpuk dalam posisi tengkurap dengan tangan terikat di punggung, di atas truk militer.
Meskipun beberapa kali diupayakan pengadilan terhadap para personel keamanan yang terlibat, tuntutan ini tidak pernah membuahkan hasil.
Pada bulan Agustus, keluarga korban mengajukan gugatan pidana terhadap tujuh pejabat senior, termasuk seorang jenderal purnawirawan dan anggota parlemen partai berkuasa. Namun, para pejabat tersebut tidak hadir di persidangan.
Sebulan kemudian, kasus lain juga diajukan terhadap delapan personel tambahan oleh jaksa agung, tetapi sidang ini juga terhambat. Pengadilan baru dijadwalkan kembali pada 28 Oktober mendatang, namun dengan ketidakhadiran para terdakwa, kemungkinan besar kasus ini akan dibatalkan.
Dalam pernyataannya, Paetongtarn menyebut insiden tersebut tidak seharusnya dipolitisasi dan menggarisbawahi bahwa perpanjangan masa pembatasan perkara bertentangan dengan konstitusi Thailand.
Di lain pihak, kepolisian Thailand menyatakan bahwa mereka telah mengeluarkan red notice melalui Interpol untuk melacak 14 tersangka.
Reaksi dari keluarga korban pun terus berlanjut. “Meski kasusnya berakhir, sejarah dan ingatan akan tetap hidup,” ujar Ratsada Manooratsada, pengacara keluarga korban.
“Keluarga korban tidak akan pernah melupakan karena para pelaku belum diadili,” sambungnya.
Sementara di Jenewa, para pakar HAM PBB juga mengungkapkan keprihatinan mendalam bahwa tidak ada satu pun pelaku yang dimintai pertanggungjawaban atas pembantaian tersebut.
Dalam pernyataan mereka, para pakar menegaskan bahwa kegagalan untuk menyelidiki dan menuntut pelaku adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Mereka juga mengingatkan bahwa hukum internasional melarang pembatasan waktu dalam kasus penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Para pakar ini mendesak pemerintah Thailand agar segera mengambil langkah konkret untuk menjamin keadilan, memperhatikan hak-hak korban dan keluarga mereka, serta melanjutkan investigasi terkait tujuh orang yang masih hilang sejak insiden tersebut. [RUTE/arabnews]
0 Komentar :
Belum ada komentar.