RUANGTENGAH.co.id, London - Situasi di Inggris semakin memanas akibat gelombang protes dari kelompok sayap kanan yang terus menerus menyerang imigran setelah insiden penusukan terhadap tiga anak kecil sekitar sepekan yang lalu.
Bentrokan yang diwarnai kekerasan ini bermula dari pembunuhan tiga gadis muda di sebuah kelas dansa bertema Taylor Swift di Southport pada Senin lalu. Axel Rudakubana (17) dari Lancashire telah dituduh sebagai pelaku serangan tersebut.
Pasca kejadian tersebut, rumor palsu menyebar secara online yang mengklaim bahwa pelaku adalah seorang pencari suaka beragama Islam yang tiba di Inggris menggunakan perahu. Padahal, Axel sebenarnya adalah keturunan imigran Rwanda beragama Kristen dan lahir di Inggris.
Klaim palsu ini memicu aksi protes dari kelompok sayap kanan yang berkumpul di berbagai kota besar dan kecil di seluruh negeri. Mereka menargetkan pencari suaka dan masjid sebagai bentuk penolakan terhadap imigran.
Dilansir CNBC, Gao Jian, Direktur Pusat Studi Inggris di Universitas Studi Internasional Shanghai, menilai insiden ini telah menguak krisis sosial yang lebih mendalam di Inggris. Menurutnya, Eropa awalnya sangat menerima para migran untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan ekonomi.
"Setelah Perang Dunia II, banyak negara maju di Eropa melonggarkan kebijakan imigrasi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan mendukung pembangunan ekonomi," kata Jian dalam sebuah opini di Global Times pada Kamis (8/8).
"Pada akhir abad lalu, seiring dengan berlanjutnya pertumbuhan ekonomi di Eropa dan AS, kebijakan imigrasi yang lebih longgar ini tetap diterapkan, dengan multikulturalisme diterima secara luas sebagai sikap yang benar secara politis," tambahnya.
Namun, dalam satu dekade terakhir, seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan tantangan di sektor industri maju, ketegangan sosial di Eropa dan AS meningkat. Imigran kini dipandang sebagai hambatan bagi pertumbuhan ekonomi.
"Kelompok imigran, yang sebelumnya menjadi kontributor penting bagi pembangunan sosial-ekonomi, kini mengalami reaksi negatif dan protes dari masyarakat," tuturnya.
Karena Inggris mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat di antara negara-negara maju besar di Eropa, beberapa media Barat menyebut Inggris sebagai "orang sakit" Eropa. Jian juga menyoroti bahwa krisis ini telah merambah ke pembangunan ekonomi dan masalah sosial.
"Isu imigrasi yang dibesar-besarkan telah lama menjadi alat politik utama bagi berbagai kekuatan untuk saling menyerang, menggarisbawahi krisis identitas sosial budaya yang terus berlangsung di negara-negara maju Barat, seperti yang terlihat di Inggris," lanjutnya.
"Banyak imigran di Inggris berasal dari bekas koloni di Asia dan negara-negara Timur Tengah, dengan proporsi Muslim yang cukup tinggi. Perbedaan bahasa, suku, dan latar belakang budaya-pendidikan menjadikan integrasi imigran ke dalam masyarakat Inggris sebagai tantangan utama," sambungnya.
Melihat situasi ini, Jian menilai perlu adanya perpaduan budaya yang sejati dengan komunitas Islam di Inggris dan Eropa. Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan kebijakan khusus atau perubahan kelembagaan sederhana.
"Dibutuhkan keharmonisan etnis dan kesadaran akan inklusivitas. Oleh karena itu, jelas bahwa membangun nilai-nilai budaya inti bersama dan menciptakan budaya nasional yang bersatu adalah suatu keharusan," pungkasnya. (RUTE/CNBC)
0 Komentar :
Belum ada komentar.