RUANGTENGAH.co.id, Ottawa - Fatemeh Anvari, seorang guru di provinsi Quebec, Kanada, kehilangan pekerjaannya hanya karena ia mengenakan hijab. Pencopotan itu tak lepas dari undang-undang provinsi yang diskriminatif.
Fatemeh adalah guru untuk kelas tiga di Sekolah Dasar Chelsea di Quebec. Ia mendapatkan pekerjaan secara permanen di sekolah tersebut setelah sebelumnya bekerja sebagai guru pengganti di Dewan Sekolah dalam beberapa bulan.
Namun, hanya berselang sebulan kemudian kepala sekolah memberi tahu Fatemeh bahwa dirinya dimutasi ke posisi luar kelas karena alasan dia berhijab.
“Jujur saja saya sangat terkejut saat itu,” ungkap Fatemeh kepada BBC seperti dilansir Daili Sabah, Senin (13/12).
Kejadian yang menimpa Fatemeh bermula dari Undang-undang Quebec 21 yang melarang sebagian besar pegawai negeri, termasuk perawat, guru, dan petugas polisi, mengenakan simbol agama seperti sorban, jilbab, salib, dan kippah ketika bekerja.
Apa yang menimpa Fatemeh ini mendapat perhatian besar dari publik Kanada. Para pengamat menilai undang-undang ini menjadi serangan tersembunyi terhadap para muslimah yang menutupi rambut mereka dan memaksa mereka untuk memilih antara keyakinan atau pekerjaan.
Perhatian juga datang dari Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
"Tidak boleh ada seorang pun di Kanada yang harus kehilangan pekerjaan karena apa yang mereka kenakan atau keyakinan agama mereka. Kami belum menutup pintu untuk membuat perwakilan di pengadilan di masa depan," tulis kantor Trudeau dalam email.
Asosiasi Kebebasan Sipil Kanada (CCLA), Dewan Nasional Muslim Kanada, dan kelompok lain tahun depan akan mengajukan dokumen yang mendukung argumen mereka ke pengadilan banding untuk menentang Undang-undang Quebec 21.
Pemerintahan provinsi Quebec sendiri telah mengajukan klausul yang memungkinkan pemerintah Kanda untuk memberlakukan UU yang tidak sejalan dengan Piagam Hak dan Kebebasan Kanada. Tapi, profesor politik Universitas Waterloo, Emmet Macfarlane mengatakan bahwa pemerintah Kanada mungkin saja melakukan perbedaan.
"Ada beberapa bukti bahwa intervensi pemerintah dalam kasus konstitusional dapat memiliki bobot,” katanya. (RUTE/ABNA24)
0 Komentar :
Belum ada komentar.