RUANGTENGAH.co.id, Gaza - Hujan pertama musim dingin kembali menambah penderitaan warga Gaza yang telah dua tahun hidup dalam pengungsian. Tenda-tenda lusuh yang menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi ribuan keluarga, tidak mampu menahan derasnya hujan, menyebabkan banyak di antaranya sobek, roboh, dan terendam banjir.
Dalam hitungan menit, tenda-tenda yang rapuh berubah menjadi kubangan lumpur. Anak-anak terjebak dalam tanah becek, sementara para ibu berusaha menyelamatkan sedikit barang yang masih tersisa.
Kondisi ini memperburuk situasi kemanusiaan yang telah kritis akibat kelaparan, blokade, dan serangan Israel yang berlangsung lebih dari dua tahun. Di kamp-kamp pengungsian, warga terlihat menumpuk batu dan pasir untuk meninggikan alas tidur agar tidak terendam, sementara lainnya mencari sudut kecil yang masih kering.
Pada Jumat (14/11/2025) pagi, air hujan membanjiri ratusan tenda dan tempat berlindung. Banyak keluarga masih terkurung di area sempit di belakang “garis kuning”, zona penarikan pasukan yang ditetapkan dalam fase awal gencatan senjata Israel–Hamas yang mulai berlaku pada 10 Oktober.
Garis itu memisahkan wilayah Gaza barat yang boleh diakses warga dengan kawasan timur yang tetap berada di bawah kendali militer Israel.
Meski tidak melintasi batas tersebut, warga Palestina dilaporkan kerap menjadi sasaran tembakan pasukan Israel saat berada di dekat “garis kuning”.
Minimnya kebutuhan dasar, akses barang esensial, dan layanan penting semakin memperburuk kondisi para pengungsi. Pemerintah Gaza memperkirakan sekitar 93 persen tenda di wilayah itu sudah tidak layak huni, sekitar 125.000 dari total 135.000 tenda rusak akibat serangan udara maupun cuaca ekstrem.
Tenda-Tenda Terendam, Warga Kehilangan Tempat Berlindung
Abu Alaa, seorang lansia dari Gaza, mengaku kehilangan tempat tinggal untuk kedua kalinya. Rumahnya di Gaza utara telah hancur dan ia tidak diperbolehkan kembali oleh militer Israel. Kini tendanya terendam banjir.
“Tenda dan alas tidur penuh air,” katanya kepada Anadolu. “Kami butuh tenda baru, kami tidak punya tempat lain,” sambungnya.
Nasib serupa dialami Mohammed Al Jarousha. Ia tidak mampu membeli plastik pelapis untuk memperkuat tendanya. Saat hujan turun, air langsung menerjang tempat tinggal sementaranya.
“Kami kebanjiran. Kami butuh solusi,” ujarnya. “Kami melewati genosida, dan sekarang kami menghadapi bencana lain,” imbuhnya.
Sabir Qawas menghadapi situasi lebih berat. Putrinya yang berusia dua tahun menderita kanker, sementara tenda keluarga mereka ambruk diterjang hujan dan angin.
“Kami tinggal di jalanan sekarang. Tidak ada organisasi yang datang membantu,” katanya.
Selama hampir dua tahun perang, puluhan ribu tenda telah rusak akibat serangan udara Israel dan kondisi cuaca ekstrem, mulai dari panas membakar di musim panas hingga angin kencang di musim dingin.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 69.000 warga Gaza—sebagian besar perempuan dan anak-anak—dilaporkan tewas dalam serangan Israel, sementara lebih dari 170.000 lainnya terluka. [RUTE/Anadolu]
0 Komentar :
Belum ada komentar.