Kolom

Iron Cage Vs Sufipreneur

Iron Cage Vs Sufipreneur

Oleh : Zainurrofieq

 

Seorang sosiolog Amerika, Talcott Parson, para tahun 1930-an berhasil menterjemahkan konsep Max Weber (meninggal tahun 1920) “The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism” yang memprediksi adanya kekhawatiran salah arah kaum agamawan suci terlindas arus duniawi atau dikenal dengan istilah “Sangkar Besi” (Iron Cage).

 

Dalam Bahasa Jerman, Weber menggunakan istilah “stahlehartes gehause“  atau “casing baja keras”.

 

Ketika meneliti kaum Calvinis, Weber telah membelalakan mata bahwa gelombang kekayaan dan kesejahteraan di dunia Barat ternyata dimulai dari orang orang “shalih” yang menghadirkan Tuhannya dalam kehidupan duniawi dan kesehariannya. Dan, ini yang menyebabkan gelombang kaum Kapital barat berjaya hingga sekarang. 

 

Weber menuturkan dengan kalimat, “Konsentrasi pada urusan lahiriah (duniawi) dalam pundak orang suci itu seharusnya seperti jubah tipis yang bisa dilepaskan kapan saja. Namun ternyata jubah tipis itu berubah menjadi sangkar besi”.

 

Weber menggambarkan bahwa peningkatan rasionalisasi dalam dunia sosial kapital Barat, telah menjebak individu dalam sistem yang semata-mata didasarkan pada efisiensi teologis. Ia pun mengistilahkan birokrasi tatanan sosial telah menjadikan malam sedingin es kutub.   

 

Hingga kini para ilmuwan masih menjadikan istilah iron cage ini sebagai masalah serius yang harus dituntaskan oleh para ilmuwan sosial. Misalnya perubahan iklim, atau kesenjangan kekayaan, atau pula persaingan saling tikam walau dipoles dengan kemanusiaan. 

 

Mereka yang dilahirkan dalam sangkar ini akan menjalankan perintah-perintah kenyataannya dan mereka terus akan terjebak mereproduksi sangkar itu dan akan seterusnya seperti itu. 

 

Dengan demikian, kehidupan yang telah dibangun tersebut belum menemukan cara hidup seperti apa yang bisa menjadi alternatif hilangnya iron cage yang memang dirasa tidak ideal itu?

 

Bersamaan dengan Talcott Parson menyambungkan kegelisahannya Webber (tahun 1930an), seorang Kiai kampung di Tasikmalaya, Syeh Abdul Fattah membawa spirit Tarekat Sufi Idrisiyyah menjadi alternatif jawaban kehawatiran Weber dan kegundahan Parson itu.

 

Pesantren Tasawwuf Idrisiyyah menarasikan kesejahteraan dunia dengan menggunakan kacamata akhirat. Spirit entrepreneurship gaya baratnya kemudian dikembangkan oleh penerusnya yaitu Muhammad Dahlan dan cucunya M Daud Dahlan yang melanjutkan tampuk ideologi bisnis islaminya. 

 

Dan puncaknya dirasakan saat ini ketika Mursyid Tarekat Idrisiyyah dipimpin Syeikh M Fathurrohman, berhasil membangkitkan ekonomi keummatan.  

 

Fenomena tambak ikan luas yang dimiliki Pesantren, belasan minimarket yang dikelola koperasi orang-orang tasawuf, banyaknya rumah makan dan café milik jamaah yang semangat dan rutin berdzikir, dan seabrek fenomena menggiurkan secara duniawi tapi dikuasai tangan-tangan trampil yang memiliki mata sembab karena sering ritual menangisi dosa dan muhasabah ketika malam hari.  

 

Bersyukur beberapa waktu lalu saya menikmati opening kedai bakso dan mie ayam yang terus dikembangkan, disamping kedai kedai Burjo yang menghiasi indahnya spirit bisnis kaum santri ini.

 

Mursyidnya telah berhasil menjadikan ”Sufipreneur” sebagai jawaban akan bahaya iron cage.  Dengan detail mereka berhasil memahami zuhud sebagai pola “menguasai dunia dengan tangan ansich, dan mengeluarkan dunia dari hati”.  اللهم اجعل الدنيا في ايدينا  ولا تجعل الدنيا في قلوبنا

 

Inilah jawaban atas iron cage-nya Weber, ada di Tasik!

 

IMG-20240224-WA0024.jpg

0 Komentar :

Belum ada komentar.