RUANGTENGAH.co.id, Washington - Amerika Serikat (AS) mulai menolak visa sejumlah pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA), termasuk Presiden Mahmoud Abbas, menjelang Sidang Umum PBB bulan ini. Keputusan ini memicu protes dari pihak Palestina dan menjadi sorotan dunia.
Dikutip dari laporan The Guardian pada Senin (1/9), Presiden Mahmoud Abbas, yang dijadwalkan berpidato di Sidang Umum PBB di New York, termasuk di antara mereka yang visanya terdampak.
Pihak Abbas mengaku terkejut dan menyebut tindakan ini melanggar perjanjian markas besar PBB, di mana AS sebagai tuan rumah seharusnya tidak boleh menolak visa pejabat yang akan menghadiri Sidang Umum.
Sikap Bebal AS dan Israel
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri AS menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil demi kepentingan keamanan nasional.
"Pemerintahan Donald Trump telah menegaskan, demi kepentingan keamanan nasional kami, kami harus meminta pertanggungjawaban PLO dan PA atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan atas upaya mereka merusak prospek perdamaian," ungkap Kemlu AS.
Langkah ini memperkuat posisi pemerintahan Trump yang sejalan dengan sayap kanan Israel, yang secara tegas menolak pembentukan negara Palestina. Pejabat Israel bahkan berulang kali menyamakan PA dengan rivalnya, Hamas.
Israel menyambut baik kebijakan ini. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyatakan, "Terima kasih atas langkah tegas ini dan karena kembali mendukung Israel," melalui akun X-nya.
AS juga menuduh Palestina melakukan "perang hukum" dengan mengajukan keluhan terhadap Israel di Mahkamah Internasional. Mereka mendesak PA untuk menghentikan upaya pengakuan sepihak atas negara Palestina.
Dampak Luas dan Reaksi PBB
Selain menolak visa para pejabat, AS juga menangguhkan persetujuan visa untuk hampir semua pemegang paspor Palestina. Laporan dari New York Times menyebutkan kebijakan ini menghalangi warga Palestina untuk bepergian ke AS demi perawatan medis, pendidikan, atau keperluan bisnis.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyatakan kekhawatiran atas situasi ini. Ia menekankan pentingnya semua negara, termasuk Palestina, untuk memiliki perwakilan di Sidang Umum.
"Kami tentu berharap masalah ini dapat segera diselesaikan," ujarnya.
Sikap AS kali ini mengingatkan pada peristiwa tahun 1988, ketika AS juga menolak masuk Yasser Arafat ke New York, memaksa Sidang Umum PBB saat itu dipindahkan ke Jenewa.
Sementara itu, di tengah tekanan internasional untuk mengakhiri serangan di Gaza, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan pasukannya untuk merebut Gaza City.
Serangan ini telah menewaskan sedikitnya 63.000 orang, melukai 150.000 orang, dan membuat sebagian besar penduduk Gaza mengungsi. PBB bahkan menyatakan Gaza kini menderita kelaparan akibat blokade Israel. [RUTE/KUMPARAN]
0 Komentar :
Belum ada komentar.