Oleh : Sabeena Siddiqui
Jurnalis, pengacara, dan analis geopolitik spesialisasi Tiongkok modern, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
Prancis dan Arab Saudi saat ini berada di garis depan diplomasi internasional untuk mendorong solusi dua negara dan mengakhiri perang Israel di Gaza. Namun, meskipun mendapatkan dukungan luas secara global, upaya ini kemungkinan akan menghadapi hambatan besar tanpa partisipasi dari Amerika Serikat dan Israel.
Konferensi New York: Langkah Diplomatik Besar
Pekan lalu, Arab Saudi dan Prancis menggelar konferensi dua hari di markas besar PBB, yang dihadiri oleh perwakilan dari 125 negara, termasuk 50 menteri. Pertemuan ini ditujukan untuk membangun kembali momentum menuju solusi politik yang telah lama mandek, di tengah perang brutal Israel yang telah berlangsung hampir dua tahun di Gaza dan banyak dikritik sebagai genosida.
Konferensi ini sempat tertunda dari jadwal awal pada bulan Juni, namun antusiasme global tetap tinggi. Media pemerintah Saudi, Al-Ekhbariya, menyebut acara ini sebagai inisiatif tingkat menteri untuk perdamaian Palestina. Amerika Serikat dan Israel secara terbuka memboikot pertemuan ini.
Pertemuan ditutup dengan deklarasi tujuh halaman yang menyerukan gencatan senjata di Gaza dan memetakan langkah menuju pendirian negara Palestina.
Rencana dan Komitmen
Menteri Luar Negeri Saudi, Faisal bin Farhan Al-Saud, mendesak negara-negara lain untuk mendukung dokumen ini sebelum Sidang Umum PBB ke-80 dimulai pada bulan September. Ia menyebut rencana ini memuat langkah-langkah nyata, berbatas waktu, dan tidak dapat dibatalkan, menuju perdamaian.
Beberapa hari sebelum konferensi, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menyatakan bahwa negaranya akan secara resmi mengakui negara Palestina pada bulan September, bergabung dengan 147 negara lain yang telah melakukannya.
Usai konferensi, 15 negara — termasuk Australia, Kanada, Irlandia, Norwegia, dan Spanyol — bergabung dengan Prancis dalam seruan bersama dari New York untuk mengakui negara Palestina, guna membangun momentum menjelang Sidang Umum PBB.
Isi Deklarasi: Peta Jalan untuk Solusi Dua Negara
Deklarasi konferensi menyebutkan beberapa langkah penting:
- Penghentian perang selama 22 bulan di Gaza.
- Pembentukan komite administratif transisi di bawah otoritas Palestina.
- Penempatan misi stabilisasi internasional sementara di Gaza dengan mandat dari Dewan Keamanan PBB.
- Penegasan bahwa Hamas harus mengakhiri pemerintahannya di Gaza dan menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina.
Deklarasi tersebut juga menekankan pentingnya mengakhiri pendudukan atas semua wilayah Arab, menjamin keamanan Israel dan Palestina, dan menciptakan kondisi bagi koeksistensi damai.
Dukungan Arab dan Peran Saudi
Liga Arab, bersama Qatar, Mesir, dan Arab Saudi, mendukung isi deklarasi tersebut. Faisal bin Farhan menegaskan bahwa normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel hanya bisa terwujud jika negara Palestina berdiri.
Upaya ini juga dilihat sebagai cara Arab Saudi untuk mengambil peran lebih besar dalam isu Palestina, sekaligus memperkuat posisinya sebagai aktor diplomatik regional yang kredibel dan moderat — menggantikan posisi simbolis yang sebelumnya diklaim Iran.
Penolakan AS dan Ketegangan Diplomatik
Meski mendapat dukungan luas, AS menolak inisiatif ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyebut konferensi ini sebagai tidak produktif dan tidak tepat waktu, dan menegaskan bahwa Washington akan tetap bekerja melalui jalur diplomasi langsung.
Sementara itu, inisiatif pasca-perang dari pemerintahan AS cenderung mencerminkan sikap ekstrem sayap kanan Israel, termasuk usulan sebelumnya dari Presiden AS untuk membangun “Riviera” di Gaza dan merelokasi warga Palestina secara paksa.
Analisis: Terobosan atau Simbolik?
Seorang diplomat Eropa menyatakan bahwa tanpa keikutsertaan Israel dan dukungan AS, inisiatif ini bersifat lebih simbolis, meskipun tetap menunjukkan niat tegas untuk menghidupkan kembali kerangka solusi dua negara dan peran diplomatik Eropa dan Arab.
Naveed Ahmad, akademisi dan fellow Thomas Jefferson, menyebut konferensi ini sebagai bentuk ketidakpuasan dua kekuatan besar — satu dari Eropa dan satu dari dunia Islam — terhadap dukungan AS pada Israel.
“Pengakuan (terhadap Palestina) dari negara-negara kuat secara politik menyakiti Tel Aviv,” kata Ahmad.
Arah Selanjutnya
Sebagian besar negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah mengakui Palestina. Sejak perang Gaza dimulai, jumlah negara Barat yang melakukan pengakuan juga bertambah. Namun, tanpa dukungan dari AS, sekutu utama Israel, upaya global ini bisa jadi tidak menghasilkan perubahan signifikan secara langsung.
Sekjen PBB António Guterres sendiri menyatakan bahwa “solusi dua negara kini lebih jauh dari sebelumnya,” karena meningkatnya kekerasan di Gaza, pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta tidak adanya prospek politik yang nyata.
Namun, kesatuan suara dari negara-negara Arab dan Eropa tanpa kehadiran AS dan Israel dalam satu forum resmi PBB bisa dilihat sebagai pencapaian diplomatik tersendiri — dan mungkin awal dari arah baru dalam perjuangan panjang menuju perdamaian dan keadilan bagi Palestina.[]
Sumber artikel : https://www.newarab.com/analysis/what-will-come-global-push-palestinian-statehood
0 Komentar :
Belum ada komentar.