RUANGTENGAH.co.id, Jakarta - Di balik gegap gempita Olimpiade Pendidikan Agama Islam (PAI) di Ancol, Jakarta, tersimpan sebuah kisah yang jauh lebih besar daripada perjalanan menuju kompetisi. Ini adalah kisah tentang keteguhan seorang anak, ketulusan cinta keluarga, dan tekad yang tidak tenggelam meski kampung halamannya sendiri berubah menjadi lautan.
Bagi Intan Syakira, siswi kelas VII asal Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, hari-hari menjelang keberangkatan justru penuh cobaan. Hujan yang turun tanpa henti membuat permukiman mereka dikepung banjir.
Air mula-mula menyusup ke dalam rumah. Sekejap kemudian, hanya dalam hitungan menit air sudah naik hingga setinggi dada orang dewasa. Di saat banyak anak seusianya sudah berlindung dan pasrah dengan keadaan, Intan justru duduk di atas sofa sambil mendekap naskah pidatonya dan menghafal di tengah ruang tamu yang terendam.
“Orang udah tidur semua, Intan masih ngapalin. Intan duduk di sofa, banjir masuk… Intan tetap hapalan,” tuturnya pelan di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Rumah nenek yang mereka jadikan tempat mengungsi pun ikut terendam banjir. Hujan semakin deras, jaringan komunikasi terputus, dan pihak sekolah maupun Kemenag Langkat kehilangan kabar dari keluarga Intan selama berhari-hari. Akses jalan lumpuh. Banyak yang pesimis Intan bisa berangkat ke Jakarta.
Namun pada H-3 keberangkatan, keajaiban kecil itu terjadi.
Dengan ditemani sang ibu, sepupu, dan bantuan personel TNI, Intan menembus banjir sejauh empat kilometer hanya untuk mencari titik sinyal. Mereka ingin memastikan satu hal bisa disampaikan: “Ibu, anak saya berangkat. Tolonglah anak saya."
Dalam gelap malam tanpa listrik, kaki yang terjerat lumpur, dan arus air yang terus menyeret, keluarga itu mempertaruhkan keselamatan demi menjaga sebuah mimpi: Intan harus tetap ikut lomba.
Di tangannya, Intan menggenggam erat sebuah plastik kecil berisi uang Rp600.000—satu-satunya bekal perjalanan.
Karena mobil tidak berani menerjang banjir, mereka berjalan kaki, menumpang bak kendaraan, turun lagi, berganti angkutan, lalu berjalan kembali. Semua dilakukan dalam kondisi lelah, basah, dan pakaian yang sama selama berhari-hari.
Ibu Siti Aminah dari Seksi Pendidikan Agama Islam Kabupaten Langkat menggambarkan pertemuan mereka dengan Intan dengan suara bergetar.
“Badannya penuh lumpur, kakinya luka-luka, beberapa hari tidak ganti pakaian. Perjalanan yang biasanya setengah jam jadi hampir satu hari. Kami menangis melihatnya…”
Malam itu, sekitar pukul 22.00, para pembina dan staf Kemenag bersama Dinas Pendidikan berkeliling mencari toko yang masih buka. Mereka ingin membeli pakaian bersih untuk Intan—perhatian sederhana yang menjadi tanda bahwa ia tidak berjuang sendirian.
Saat Intan akhirnya melangkah masuk ke pesawat menuju Jakarta, itu bukan sekadar perjalanan udara. Itu adalah puncak perjuangan panjang yang disusun dengan keberanian, keteguhan hati, dan doa yang tidak henti-henti.
Bagi Intan, lomba pidato di PAI Fair bukan lagi ajang kompetisi semata. Ia menjadi lambang harapan, pelajaran bahwa bencana tidak selalu menghentikan langkah, dan cahaya justru sering lahir dari kegelapan. Tidak ada mimpi yang terlalu jauh jika diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan bersama-sama.
Di balik kisah heroik ini, terselip pesan besar tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Ibu Siti mengingatkan bahwa banjir tidak hanya berasal dari cuaca ekstrem, tetapi juga akibat ulah manusia sendiri seperti kebiasaan membuang sampan sembarangan, menebang hutan, dan merusak lingkungan.
"Ekoteologi dan kesadaran menjaga bumi harus ditanamkan sejak dini," tambahnya.
Kisah Intan bukan hanya tentang seorang anak yang berjuang demi sebum kompetisi. Ini adalah cermin tentang pentingnya pendidikan, kelestarian lingkungan, dan karakter yang kokoh, fondasi yang harus dijaga dan dirawat bersama. [RUTE/Kemenag]
0 Komentar :
Belum ada komentar.