RUANGTENGAH.co.id, Jakarta - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar resepsi khusus menyambut kedatangan Grand Syaikh Al Azhar yang juga Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM) Prof. Ahmad Al Thayyeb.
Acara yang berlangsung di gendung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (11/7) ini mengusung tema, “Peran Al Azhar dan Muhammadiyah dalam Penyebaran Wasatiyah Islam dan Mewujudkan Perdamaian Global”.
Acara dihadiri Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nashir, bersama para pimpinan lembaga, pimpinan perguruan tinggi Muhammadiyah, dan para cendekiawan dan intelektual Indonesia.
KH Haedar mengungkapkan kebahagiaannya atas kunjungan Grand Syaikh Al Azhar ke kantor pusat Muhammadiyah. Ia menyoroti dukungan Al Azhar yang begitu besar kepada umat Islam Indonesia dalam bentuk beasiswa dan penerimaan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar.
Ia menegaskan Al Azhar merupakan teladan dalam pengembangan pendidikan agama dan advokasi Islam, menjadi rujukan Islam terbesar dan pilar peradaban Islam.
Haedar Nashir menekankan bahwa Grand Syaikh merupakan pendukung utama tujuan Islam dan kemanusiaan di seluruh dunia. Grand Syaikh bahkan bukan hanya seorang imam bagi umat Islam tetapi juga simbol perdamaian dan kemanusiaan secara global.
(Gambar : Buya CT)
Haedar Nashir menunjukkan perlunya mengaktifkan ketentuan-ketentuan dalam Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan, yang ditandatangani Grand Syaikh Al Azhar Ahmad Al Thayyeb dengan Paus Fransiskus pada 2019. Karena, dokumen penting tersebut memuat prinsip-prinsip kemanusiaan yang melindungi kepentingan semua orang, apa pun warna kulit mereka, agama, atau ras.
Haedar Nashir juga menyampaikan apresiasi masyarakat Indonesia atas sejumlah inisiatif yang muncul berdasarkan dokumen ini, salah satunya adalah Zayed Award for Human Fraternity. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendapat penghargaan ini atas upaya membangun perdamaian dan persaudaraan umat manusia di Indonesia serta partisipasi aktif mereka dalam pembangunan ekonomi dan sosial melalui perluasan lembaga, universitas, dan rumah sakit yang melayani jutaan masyarakat Indonesia.
Pidato Grand Syaikh
Pada kesempatan ini, Grand Syaikh menyampaikan pidato yang menekankan bahwa ikatan umat Islam dengan Nabi Muhammad (saw), Nabi Kemanusiaan yang membawa umat manusia keluar dari kegelapan kebodohan menuju cahaya, pengetahuan, dan dari sempitnya kebrutalan dan penindasan menuju luasnya belas kasihan dan perdamaian, merupakan ikatan kuat yang semakin erat seiring berjalannya waktu.
Grand Syaikh menjelaskan bahwa umat Islam di seluruh dunia mempelajari kehidupan dan ajaran Rasulullah, menghormatinya, dan sangat yakin bahwa Nabi adalah penghubung yang menghilangkan kegelapan bumi dengan cahaya langit.
Grand Syekh menunjuk pada munculnya seruan-seruan lama yang berulang kali berupaya untuk meragukan nilai Sunnah (tradisi Nabi), keasliannya, dan otoritasnya, serta mengkritik para perawinya: baik para Sahabat, Tabiin, maupun orang-orang yang datang setelah mereka.
Seruan-seruan ini menuntut agar Sunnah Nabi tidak diikutsertakan sepenuhnya dalam perundang-undangan dan peraturan, serta menganjurkan ketergantungan hanya pada Al Quran dalam segala hal yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan bagi seorang Muslim, baik dalam hal ibadah maupun muamalah.
Mereka mengklaim bahwa apa yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al Quran tidak mengikat umat Islam dengan perintah atau larangan apa pun, atau pernyataan diperbolehkan atau dilarangnya apa pun.
Grand Syaikh memuji Al Azhar karena merancang kurikulum yang mengkritik teks-teks yang meragukan, sebuah proyek yang dimulai pada masa jabatannya sebagai Rektor Universitas Al Azhar pada awal abad ini.
Grand Syaikh secara pribadi meminta para sarjana hadis senior di Fakultas Ushuluddin untuk menjelaskan kekurangan dalam teks-teks tersebut dan untuk menerbitkan warisan hadis kritis ini, dengan mengungkap khazanah langka di bidang ini, karena mereka belum menerima warisan hadis tersebut. perhatian dalam kajian dan penyebarannya.
Grand Syaikh juga mengungkapkan kekagumannya bahwa Nabi (Saw) telah memberi tahu umatnya—empat belas abad yang lalu—bahwa suatu hari nanti akan muncul orang-orang yang mengaku berafiliasi dengannya, menyerukan untuk mengesampingkan Sunnahnya dan hanya mengandalkan pada Al Quran. Dia memperingatkan kita terhadap tindakan mereka bahkan ketika mereka masih tersembunyi di balik hal-hal yang tidak diketahui.
"Bukankah ini merupakan tanda kenabiannya (saw) dan salah satu mukjizatnya yang abadi sepanjang waktu dan zaman?" ungkap Grand Syaikh.
Beliau juga menyatakan keterkejutannya karena beberapa orang yang mengingkari Sunnah menyebut diri mereka sebagai “penganut Al Quran”. Sekiranya mereka penganut Al Quran yang sejati, tentu mereka tidak akan mengingkari apa yang diamanatkan Allah dalam Al Quran, yaitu kewajiban mengikuti Sunnah Nabi dan jalan orang-orang yang beriman. Beliau menegaskan bahwa Sunnah dilestarikan dengan perlindungan Ilahi yang sama seperti Al Quran.
Mengakhiri pidatonya, Grand Syaikh menghimbau para ulama Indonesia untuk memberikan perhatian yang signifikan terhadap masalah ini (kewenangan Sunnah). Beliau menyarankan untuk mengintegrasikannya ke dalam persyaratan masuk perguruan tinggi universitas dan bahkan ke dalam kurikulum pendidikan pra-universitas untuk menjaga generasi muda agar tidak tersesat ke tempat yang tidak ada Sunnah, Al Quran, atau agamanya.
“Ada banyak hal yang perlu didiskusikan, namun cukuplah saya telah memperingatkan bahaya yang mulai muncul kembali di masa kita ini di negeri-negeri Muslim, baik di Timur maupun Barat,” pungkas Grand Syaikh. [RUTE/MuslimElder]
0 Komentar :
Belum ada komentar.