RUANGTENGAH.co.id., Stockholm - Sofia sedang menikmati hari yang cerah bersama teman-temannya di sebuah taman dekat masjid Stockholm. Tetapi, dia juga merasa frustrasi dengan perdebatan tak kunjung henti tentang kebebasan berekspresi menyusul beberapa insiden pembakaran Al Quran di ibu kota Swedia.
Wanita berusia 36 tahun yang bekerja di bidang pendidikan ini mengatakan bahwa dia merasa agamanya, Islam, yang justru sering disalahkan setiap kali muncul masalah seperti ini, bukan orang yang membakar Al Quran.
“Kami lahir dan dibesarkan di sini selama beberapa generasi, tetapi mereka (pemerintah) tidak berbicara tentang Muslim seolah-olah kami ini bukanlah bagian dari Swedia,” katanya.
“Padahal kami juga berkontribusi. Ada di antara kami yang bekerja sebagai pengacara, dokter, jurnalis, layanan kesehatan, dan warga biasa yang merupakan bagian dari Swedia.”
Jumlah penduduk muslim di Swedia sekitar 2,3 persen dari total populasi.
Serangkaian aksi perusakan dan pembakaran Al Quran di Swedia dan Denmark telah memicu diskusi domestik tentang batas-batas undang undang kebebasan berekspresi yang sangat liberal dan memperburuk konflik diplomatik antara Swedia dan negara-negara Muslim di seluruh dunia.
“Ini disebut 'krisis Al Quran',” kata Sofia.
“Padahal ini bukan krisis Al Quran, ini adalah krisis rasisme,” tegas Sofia. Teman-temannya mengangguk setuju.
“Mereka menyalahkannya pada kami seolah-olah ini adalah krisis yang dialami umat Islam, padahal kami tidak pernah merusak atau membakar kitab suci orang lain,” tambah Sofia.
Salwan Momika dan Salwan Najem, dua pengungsi asal Irak membakar Al Quran di luar masjid Stockholm pada hari raya Idul Adha lalu. Keduanya lantas mengulangi aksi kotornya itu.
Suara Pemerintah
Ulf Kristersson, perdana menteri Swedia, menuduh orang luar menggunakan undang-undang kebebasan berekspresi negara itu untuk menyebarkan kebencian dan menyeret Swedia ke dalam konflik internasional. Dia juga menyalahkan informasi yang salah atas kemarahan seputar pembakaran.
Kristersson mash tetap dalam posisinya mengedepankan undang-undang kebebasan berekspresi Swedia. Tapi, dia mengklaim bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan peraturan kepolisian agar punya wewenang menghentikan aksi semacam pembakaran Al Quran jika memang hal itu menimbulkan ancaman keamanan nasional.
Chafiya Kharraki, seorang guru berusia 45 tahun, mengatakan dia tidak percaya ucapan Kristersson itu. Kharraki mengatakan bahwa pemerintah Swedia perlu mengakui kesalahannya dan bertanggungjawab atas situasi saat ini.
Teman Kharraki yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu mengubah undang-undang apapun karena ini hanya masalah interpretasi saja. Ia khawatir wacana perubahan undang-undang ketertiban umum itu malah berpotensi mengancam demokrasi.
“Fasis adalah fasis. Anda tidak bisa menunggu mereka menjadi sesuatu yang lain. Demokrat Swedia dan pemerintah minoritas ini menjalankan agendanya dan kami bahkan tidak dibicarakan,” kata wanita itu.
“Membakar Al Quran, kemudian mereka mengatakan Islamofobia itu buruk, tetapi mereka tidak memiliki rencana untuk menghentikan Islamofobia,” imbuhnya.
Pembiaran Sangat Berbahaya
Imam Mahmoud Khalfi, juru bicara masjid Stockholm, di mana 600-700 orang datang untuk sholat setiap hari, mengatakan, “Setiap saat kami selalu menunggu aksi-aksi absurd semacam itu dihentikan. Karena tidak ada akibat yang ditimbulkannya selain dari konsekuensi berbahaya.”
Khalfi mengatakan dia telah menerima banyak panggilan telepon dalam beberapa bulan terakhir dari orang-orang yang ingin berbicara tentang perasaan mereka tentang pembakaran Al Quran, yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi.
Nora, 16, mengatakan dia tidak mengerti pembakaran, yang menurutnya tidak perlu. Ditanya apakah mereka harus dilarang, siswa itu menghela nafas. "Itu yang sulit," katanya.
“Kebebasan berekspresi sangat penting sampai tingkat tertentu, tetapi ketika mulai melanggar orang lain, itu tidak benar” tambahnya.
Daripada mengubah undang-undang kebebasan berekspresi Swedia, dia menyarankan untuk menggunakan undang-undang ujaran kebencian secara berbeda. Dia mengatakan dia telah melihat banyak dukungan untuk pembakaran Al Quran di media sosial, tetapi dia sangat menentangnya.
“Saya tidak mendukung sama sekali aksi itu karena pada dasarnya melanggar kelompok orang lain. Saya tidak tahu bagaimana orang-orang bisa mendukungnya,” ucap Nora.
Namun, bagi Inge Zurcher, 79, larangan atas aksi seperti pembakaran Al Quran itu masuk akal.
"Ini menyebalkan. Seharusnya tidak diizinkan,” katanya. Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak memahami kerusakan apa yang mereka timbulkan terhadap Swedia dan Muslim akibat pembiaran itu.
Tal Domankewitz, 39, seorang pemandu wisata, mengatakan harus ada batasan pada undang-undang kebebasan berekspresi Swedia.
“Ada beberapa kasus di mana Anda harus berpikir ulang dan tidak membiarkannya terjadi. Itu harus menjadi batas,” ucapnya. (RUTE/IQNA)
0 Komentar :
Belum ada komentar.