RUANGTENGAH.co.id, Gaza - Badan PBB untuk anak-anak dunia, UNICEF menggambarkan Kota Gaza sebagai kota ketakutan, pengungsian, dan pemakaman di mana masa kanak-kanak tak lagi bisa bertahan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Manajer Komunikasi UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Tess Ingram, setelah menghabiskan sembilan hari di wilayah tersebut.
Ingram memperingatkan bahwa dunia tidak bisa lagi menunggu bencana besar terjadi, sebab hal-hal yang tidak terpikirkan terjadi, itu sudah terjadi di Gaza.
Ia menceritakan kisah-kisah memilukan tentang anak-anak yang terpisah dari orang tua, para ibu yang berduka, dan anak-anak yang menderita luka akibat pecahan peluru.
Kelaparan yang Mengkhawatirkan
Salah satu krisis paling parah di Gaza adalah lonjakan angka malnutrisi pada anak-anak. Dari 92 pusat gizi rawat jalan yang didukung UNICEF, hanya 44 yang masih beroperasi.
"Beginilah gambaran kelaparan di zona perang," kata Ingram.
Ia menggambarkan klinik yang penuh sesak dengan anak-anak yang kelaparan dan orang tua yang putus asa. Banyak keluarga hanya bertahan hidup dengan semangkuk lentil atau nasi setiap hari, sementara para ibu rela tidak makan agar anak-anak mereka bisa makan.
Ingram secara khusus membagikan kisah Nesma, seorang ibu yang putranya, Jouri, meninggal karena malnutrisi. Putrinya, Jana, yang sempat pulih dari malnutrisi, kini kembali sakit kritis.
"Saya hancur setelah membesarkan anak saya, tetapi kemudian kehilangan dia dalam pelukan saya," kata Nesma kepada Ingram.
"Saya mohon jangan sampai kehilangan Jana juga,” ujar Nesma pilu.
Angka kelaparan terus melonjak tajam. Pada Februari, 2.000 anak dirawat di pusat kesehatan, dan jumlahnya melonjak menjadi 13.000 pada Juli. Bahkan pada paruh pertama Agustus saja, 7.200 anak lainnya dirawat.
Bantuan Tak Memadai
UNICEF terus menyalurkan bantuan, namun kebutuhan di lapangan jauh lebih besar. Rata-rata, hanya sekitar 41 truk bantuan yang masuk ke Gaza setiap hari, jauh dari kebutuhan 6.000 hingga 8.500 truk. Hambatan birokrasi, keamanan, dan penjarahan semakin menghambat upaya penyaluran bantuan.
Meskipun UNICEF telah menyediakan bantuan gizi, seperti makanan terapeutik untuk 3.000 anak, pendanaan untuk bantuan gizi baru mencapai 17% dari total yang dibutuhkan.
Kondisi rumah sakit juga sangat mengkhawatirkan. Dari 11 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian di Kota Gaza, hanya lima yang memiliki unit perawatan intensif neonatal.
Empat puluh inkubator, yang beroperasi pada kapasitas 200%, menopang kehidupan 80 bayi baru lahir yang bergantung pada pasokan listrik yang tidak stabil.
Bahkan zona aman telah berubah menjadi mematikan. Ingram menceritakan kisah Mona, gadis berusia 13 tahun yang selamat dari serangan Israel yang menewaskan ibu dan kedua adiknya. Mona kini terbaring di rumah sakit dengan kaki yang diamputasi.
"Rasanya sangat sakit," kata Mona.
"Tapi aku tidak sedih dengan kakiku; aku sedih kehilangan ibuku,” sambungnya penuh kesedihan.
Seruan Kemanusiaan
Ingram mendesak otoritas Israel untuk meninjau kembali aturan keterlibatan mereka agar lebih baik melindungi anak-anak sesuai hukum humaniter internasional. Ia juga meminta Hamas dan kelompok bersenjata lainnya untuk membebaskan sandera.
"Kehidupan Palestina sedang dihancurkan," kata Ingram.
"Di Kota Gaza, hal yang tak terbayangkan telah terjadi. Biaya ketidakpedulian akan diukur dari nyawa anak-anak yang terkubur di reruntuhan, tersiksa kelaparan, dan dibungkam bahkan sebelum mereka sempat berbicara,” ungkapnya. [RUTE/ARABNEWS]
0 Komentar :
Belum ada komentar.