Oleh : TGB Muhammad Zainul Majdi
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Dalam ayat ini secara eksplisit Allah Swt menyebutkan beberapa keadaan orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Pertama, orang yang sedang sakit. Yaitu, sakit yang yukhofu minhu al masyaqah indash shoum, atau sakit yang dikhawatirkan akan lebih berat lagi kalau orang tersebut berpuasa.
Kedua, orang yang berada dalam perjalanan. Yaitu, perjalanan yang sesuai dengan yang syariat seperti misalnya perjalanan menemui orangtua yang berada di tempat cukup jauh. Atau, seperti perjalanan menuntut ilmu. Ataupun perjalanan yang dibolehkan seperti untuk keperluan pekerjaan. Perjalanan yang tidak terkandung di dalamnya unsur kemaksiatan. Maka, orang yang melaksanakan perjalanan seperti ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Kemudian, yang ketiga adalah orang yang sudah berusia lanjut atau mengalami sakit yang berat sehingga sulit secara fisik untuk menunaikan ibadah puasa. Maka, untuk keadaan seperti ini juga Islam memberikan keringanan dalam hal puasa Ramadhan. Bagi kedua orang dalam keadaan seperti ini tidak mesti mengganti puasa di bulan yang lain, melainkan cukup dengan membayar fidyah sesuai dengan jumlah hari di mana mereka tidak berpuasa.
Fidyah adalah memberikan makanan kepada fakir miskin, sesuai dengan makanan yang wajar dikonsumsi orang-orang di daerah tersebut. Jika di tempat itu orang-orangnya terbiasa mengkonsumsi beras, maka fidyahnya pun harus dengan beras. Jika di daerah itu orang-orangnya terbiasa dengan roti gandum, maka fidyahnya pun disesuaikan.
Inilah bentuk keringanan dari Allah Swt. Dan, masih ada orang lagi orang yang mendapatkan keringanan berpuasa dari Allah Swt. Yaitu, wanita yang sedang hamil atau menyusui. Demikian juga bagi wanita yang sedang haid dan nifas.
Dari keringanan atau rukhsoh ini terlihatlah bagaimana Islam memanusiakan manusia. Tidak pernah ada perintah agama yang melampaui kemampuan seorang hamba untuk memikulnya. Islam selalu memiliki jalan keluar untuk umatnya yang memiliki kondisi tertentu di mana mereka tidak dapat menjalankan suatu perintah syariat. Para ulama menyebutnya sebagai “Min mahaasinil Islam”, atau salah satu bentuk keindahan Islam.
Oleh karena itu, ketika ketika kita sedang melaksanakan ibadah puasa penting bagi kita untuk berupaya dengan segala cara berusaha menghadirkan keindahan Islam dalam keseharian kita. Kalau kita sedang berintreaksi, keluar dari rumah saat sedang berpuasa, lalu kita melihat ada saudara kita yang tidak berpuasa, jangan cepat-cepat kita menyalahkan dan menghakiminya, apalagi mencelanya. Karena siapa tahu dia memang sedang memiliki halangan, misalnya sedang musafir atau sedang dalam perjalanan. Atau, siapa tahu dia merupakan saudara kita non-muslim.
Maka, puasa itu tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, melainkan juga puasa merupakan sepaket pendidikan bagaimana kita mampu menciptakan pengendalian diri yang baik. Mampu menghadirkan karakter taqwa dalam diri kita, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain.
Puasa mengajarkan kita bahwa jika kita mampu menghadirkan sikap saling menghargai, saling menjaga kehormatan orang lain, maka semua akan terhormat, kehidupan akan berlangsung dengan begitu indah. Sedangkan jika terbiasa hidup dengan saling mencibir, menghakimi dan merendahkan, maka kehidupan akan terasa begitu sesak dan menggelisahkan.
Dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah Saw. Kita bisa menemukan bagaimana sikap mulia beliau dalam menghargai sesama manusia. Rasulullah Saw. sangat berlapang hati dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda pandangan dengan beliau, bahkan dengan mereka yang berbeda agama.
Rasulullah Saw. menjadi orang pertama yang menjenguk seorang Yahudi yang sedang sakit, meski Yahudi tersebut setiap hari menghina beliau. Setiap kali mendapatkan rezeki, Rasulullah Saw. senantiasa meminta kepada istrinya untuk membagi rezeki tersebut kepada tetangga, termasuk tetangga yang non-muslim. Bahkan ketika ada seorang tetangga yang Majusi mengirimkan makanan, beliau terima dengan baik.
Hal ini patut menjadi pelajaran bagi kita bahwa puasa tidak hanya membentuk pribadi yang takwa secara pribadi, namun juga membentuk pribadi yang takwa secara sosial. Sebagaimana yang Rasulullah Saw. wasiatkan kepada kita bahwa muslim yang baik adalah muslim yang tidak menyakiti orang lain baik dengan ucapannya ataupun dengan perbuatannya. Muslim yang baik adalah muslim yang peduli dan empati terhadap tetangganya. Inilah hakikat dari seorang yang bertakwa.
Semoga Allah Swt. memberikan kita kekuatan untuk selalu belajar dari bulan Ramadhan yang indah ini untuk mengindahkan akhlak kita. Tidak hanya untuk individu, tetapi juga menghadirkan kemanfaatan untuk semua. Aamiin yaa Robbal’aalamiin.
Wallaahul muwafiq wal haadi ilaa sabiilirrosyad.[]
—
Disarikan dari https://www.youtube.com/watch?v=ByxxUFmAEhU
0 Komentar :
Belum ada komentar.