Humaniora

Buka Puasa Hari Pertama di Tengah Puing Gaza, Saling Menguatkan dan Menumbuhkan Harapan

Buka Puasa Hari Pertama di Tengah Puing Gaza, Saling Menguatkan dan Menumbuhkan Harapan
Warga Gaza Selatan berbuka puasa Ramadan hari pertama di tengah puing bangunan, bersama saling menguatkan. (Gambar : almonitor)

RUANGTENGAH.co.id, Gaza City - Meja-meja disusun panjang dengan taplak kain merah terbentang ratusan meter di antara puing-puing bangunan di Gaza Selatan pada Sabtu (1/2/2025) lalu. 

 

Di sana, keluarga-keluarga berkumpul untuk berbuka puasa pada hari pertama Ramadan, mencoba menghadirkan kembali semangat bulan suci meskipun berada di tengah kehancuran seraya saling menguatkan satu sama lain.  

 

Di kawasan Rafah, yang hanya menyisakan sedikit bangunan utuh akibat pertempuran antara Israel dan kelompok pejuang Palestina, ratusan warga duduk bersama menikmati hidangan berbuka puasa. 

 

"Orang-orang sangat bersedih, dan suasana di sekitar kami begitu menyayat hati," ujar Malak Fadda, penyelenggara acara. 

 

"Kami ingin menghidupkan kembali kebahagiaan di jalan ini, seperti sebelum perang,” sambungnya.  

 

Ifthar Gaza 1.jpeg(Gambar : almonitor)

 

Namun, di tengah momen kebersamaan tersebut, bayangan ketidakpastian masih menyelimuti masa depan gencatan senjata di Gaza. Tahap pertama gencatan senjata hampir berakhir pada Sabtu lalu, dengan harapan akan berlanjut ke tahap berikutnya yang dapat menghentikan perang secara permanen. Namun, negosiasi masih menemui hambatan.  

 

Di antara kerumunan, bendera Palestina berkibar, lampu-lampu hias tergantung di reruntuhan, sementara musik terdengar dari pengeras suara. Perang yang meletus akibat serangan kelompok Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan lebih dari 69 persen bangunan di Gaza mengalami kerusakan atau hancur.  

 

Menurut PBB, pemboman dan pertempuran telah membuat hampir seluruh populasi Gaza mengungsi, memicu kelaparan yang meluas. Gencatan senjata yang dimulai sejak 19 Januari lalu memungkinkan lebih banyak bantuan masuk, ratusan ribu warga masih hidup di tenda-tenda darurat, banyak di antaranya mendirikan kemah di atas puing rumah mereka yang hancur.  

 

"Di hari pertama Ramadan, kami berharap bisa kembali ke rumah dan berbuka bersama keluarga," kata Umm al Baraa Habib, warga Rafah. 

 

"Namun, ini adalah takdir Allah, dan kami tetap akan bertahan,” imbuhnya penuh rasa yakin.  

 

Iftar di Tengah Kehancuran  

 

Di Beit Lahia, wilayah utara Gaza, puluhan warga berkumpul untuk berbuka puasa di antara sisa-sisa bangunan yang runtuh. 

 

"Kami berada di tengah kehancuran, tapi kami tetap teguh meskipun rasa sakit dan luka menyelimuti," ujar Mohammed Abu Al Jidyan. 

 

"Kami berbuka puasa di tanah kami, dan kami tidak akan meninggalkannya,” sambungnya.  

 

Sementara itu, gagasan Presiden AS Donald Trump tentang relokasi penduduk Gaza ke wilayah lain menuai kecaman global.  

 

Ifthar Gaza 2.jpegWarga Gaza menghiasi puing-puing untuk menyalakan kegembiraan bulan Ramadhan. (Gambar : almonitor) 

 

Di Khan Yunis, sebelum fajar menyingsing, suasana sahur sedikit berbeda. Lampu warna-warni menerangi lingkungan yang sebagian besar hancur, sementara sekelompok kecil warga berkumpul untuk makan sebelum menjalani puasa. Sebuah mural bertuliskan "Ramadan Menyatukan Kita" menghiasi dinding yang masih berdiri.  

 

Sehari sebelumnya, anak-anak menggantungkan lentera Ramadan dan bendera Palestina di antara puing-puing. Pedagang pun mulai menjual balon dan mainan, meskipun kemeriahan Ramadan kali ini terasa berbeda.  

 

"Anak-anak saya meminta pakaian dan makanan, tapi saya tidak bisa memberikannya karena sudah satu setengah tahun saya menganggur," kata Omar al Madhoun, warga kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara. 

 

"Kami hidup di tengah kehancuran, tidak tahu bagaimana bertahan, dan takut perang akan kembali membawa lebih banyak penderitaan,” tambah Omar.   

 

Konflik yang bermula pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan 1.218 orang tewas di Israel, mayoritas warga sipil, menurut data AFP. Sedangkan serangan Israel ke Gaza telah merenggut 48.388 nyawa, sebagian besar warga sipil, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, yang datanya menjadi pegangan PBB.  

 

Gencatan senjata tahap pertama telah memungkinkan pembebasan 25 sandera Israel dan penyerahan jenazah delapan orang lainnya, sementara lebih dari 1.700 tahanan Palestina dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan. Namun, masa depan perdamaian tetap belum pasti bagi warga Gaza yang masih berjuang bertahan di tengah reruntuhan. [RUTE/ALMONITOR]

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.