RUANGTENGAH.co.id, New Delhi - Kelompok sayap kanan Hindu telah berkali-kali mengajukan petisi ke pengadilan untuk mengklaim bangunan masjid bersejarah yang dilindungi UNESCO sebagai kuil Hindu.
Manuver kelompok sayap kanan Hindu ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi kelompok minoritas, sejarawan dan arkeolog di India.
Baru-baru ini Rajneesh Singh, petinggi Partai Bharatiya Janata Party (BJP) yang berkuasa di India, mengajukan permohonan ke pengadilan dan meminta arahan kepada Survei Arkeologi India (ASI) agar diberikan akses untuk memasuki 22 kamar di Taj Mahal, warisan dunia yang dilindungi UNESCO, untuk memastikan apakah klaim bahwa situs bersejarah tersebut rumah berhala Hindu benar atau tidak.
Dibangun di kota Agra, 240 kilometer (149 mil) selatan ibu kota New Delhi, atas perintah kaisar Mughal Shah Jahan pada tahun 1648 untuk mengenang istri kesayangannya, monumen ini menjadi permata seni Muslim di India.
Namun, pengadilan menolak permohonan Singh. Singh mengajukan permohonan itu didasarkan pada teori konspirasi yang didukung oleh sejarawan sayap kanan, bahwa keajaiban abad ke-17 adalah sebuah kuil Hindu tua yang disebut "Tejo Mahal."
Bertepatan dengan kontroversi Singh ini, pengadilan tinggi India juga membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah yang melarang shalat berjamaah di Masjid Gyanvapi, masjid dari abad ke-17 di kota kuno Varanasi di negara bagian Uttar Pradesh utara.
Kelompok sayap kanan Hindu mengklaim bahwa masjid yang berdekatan dengan Kuil Kashi Vishwanath yang terkenal di daerah pemilihan Perdana Menteri Narendra Modi, dibangun di atas rumah ibadah Hindu.
Mereka bahkan mengklaim bahwa tim yang ditunjuk pengadilan dalam sebuah survei telah menemukan peninggalan dewa Siwa di dalam kolam di halaman masjid yang berfungsi sebagai tempat wudhu.
Kelompok-kelompok Muslim telah menentang survei tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Tempat Ibadah tahun 1991, yang mempertahankan status keagamaan dari setiap tempat ibadah pada 15 Agustus 1947.
Pengadilan yang lebih rendah telah memerintahkan penyegelan masjid. Mahkamah Agung, bagaimanapun, mengizinkan umat Islam untuk beribadah di masjid sambil memerintahkan perlindungan daerah, di mana ada klaim peninggalan Siwa di sana.
Petisi Masjid Mathura
Dalam kasus lain di negara bagian yang sama, pengadilan menerima gugatan yang menuntut kepemilikan tanah Masjid Shahi Idgah abad ke-17 di Mathura, 57 km (35 mil) utara kota Agra. Masjid ini bersebelahan dengan sebuah kuil, di mana umat Hindu percaya bahwa di sana tempat Dewa Kresna lahir.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Niranjan Sahoo, peneliti senior di Observer Research Foundation yang berbasis di New Delhi, mengatakan bahwa kemenangan elektoral BJP baru-baru ini dalam pemilihan provinsi telah menguatkan kelompok sayap kanan Hindu.
“Isu ini sangat membantu partai penguasa untuk menghindar dari isu riil inflasi, kenaikan harga, dan pengangguran yang meningkat. Jadi, seperti membunuh dua burung dengan satu batu," katanya.
Sahoo mengatakan kontroversi semacam itu menciptakan polarisasi agama, yang membantu partai penguasa ‘menggeser tiang gawang’ dari episode Masjid Ayodhya-Babri. Masjid Babri yang dibangun oleh Kaisar Mughal Babur pada abad ke-16 dihancurkan oleh massa mengamuk pada tahun 1992 karena mereka percaya masjid bersejarah tersebut adalah tempat kelahiran dewa Rama.
Setelah melalui proses hukum yang berlarut-larut, lima hakim Mahkamah Agung pada 2019 menyerahkan tanah tersebut kepada pihak Hindu untuk dibangun candi. Ia juga memerintahkan pemerintah untuk memberikan lahan alternatif seluas lima hektar kepada umat Islam untuk dibangun masjid.
Analis politik di India menghubungkan kebangkitan BJP di lanskap politik India dengan gerakan untuk membangun Ram Tempe yang megah di tempat Masjid Babri di kota Ayodhya.
Sahoo mengatakan bahwa motif utama di balik mengangkat isu-isu tersebut adalah untuk membuka kembali luka sejarah dan menjaga panci komunal tetap mendidih sebagai lumbung suara.
"Kebangkitan BJP dari hanya dua kursi di Lok Sabha (majelis rendah parlemen) pada tahun 1984 menjadi 120 kursi pada tahun 1996 difasilitasi oleh polarisasi agama di belakang gerakan Ayodhya," katanya.
Klaim Qutb Minar
Kontroversi lain, kelompok radikal Hindu lainnya mengklaim bahwa Qutb Minar, sebuah menara terkenal yang dibangun pada awal abad ke-13 oleh penguasa Turki Qutbudin Aibak, adalah Kuil Wisnu. Qutb Minar adalah bagian dari kompleks Qutb yang lebih besar, Situs Warisan Dunia UNESCO di selatan ibu kota Delhi.
Vinod Bansal, juru bicara organisasi Hindu garis keras Vishwa Hindu Paris telah mengklaim bahwa struktur Qutb Minar dibangun dengan bahan-bahan yang diperoleh setelah menghancurkan 27 kuil Hindu-Jain, dan itu dilakukan untuk mengganggu komunitas Hindu.
Sejarawan terkenal Syed Ali Nadeem Rezavi, seorang ahli sejarah Mughal, mengatakan isu ini telah didengungkan sejak lama.
"Saya yakin bukan hanya sejak tahun 2014 saat Perdana Menteri Modi berkuasa, tapi sudah lama sejak tahun 1992, saat vandalisme pertama dilakukan (penghancuran Babri)," katanya.
"Apa yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir, yang sekarang sedang dilakukan adalah upaya untuk menghilangkan sejarah dan menggantinya dengan mitologi. Tidak ada yang memperhatikan fakta sejarah yang tersedia,” katanya.
Dia mengatakan bahwa pengadilan seharusnya tidak menerima kasus mengenai kuil di Varanasi.
"Undang-undang tahun 1991 meyakinkan kami bahwa itu tidak akan terulang, tetapi sekarang lebih mengkhawatirkan karena pengadilan yang lebih tinggi mengakui kasus-kasus mengenai kuil di Varanasi. Mereka telah mengabaikan tindakan yang dibuat oleh pemerintah India. Pengadilan seharusnya tidak menerima permohonan seperti itu,” tambahnya.
"Tidak perlu ada aturan baru. Jika mereka (pemerintah) mengikuti konstitusi negara, tidak akan terjadi apa-apa. 70 tahun, kami bertahan sebagai bangsa dan kami cukup bangga," pungkasnya.
Desain Polarisasi
Zafar Ul Islam Khan, seorang pemimpin Muslim dan mantan kepala Komisi Minoritas Delhi, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa perhatian telah diarahkan ke masjid-masjid bersejarah dengan memperhatikan pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada 2024.
“Serangan gencar terhadap masjid di banyak bagian negara ini adalah bagian dari agenda Hindutva lama. Sekarang setelah mereka mengamankan Babri dan sebuah kuil besar sedang dibangun di sana, mereka mengarahkan perhatian ke beberapa masjid lain untuk merebutnya sebelum pemilu 2024,” katanya.
Dia menambahkan bahwa semua perkembangan yang terjadi secara terang-terangan melanggar hukum.
"Sejak tahun 1991 undang-undang yang melindungi masjid, dengan pengecualian Babri, pada statusnya seperti yang berlaku ketika kemerdekaan tahun 1947, masih menjadi undang-undang meskipun mereka dapat membatalkannya dengan menggunakan suara mayoritas mereka di Parlemen," tambah Khan.
Niyaz Farooqui, sekretaris Jamiat Ulama-i-Hind, organisasi sosial-keagamaan Muslim terbesar di India, menyalahkan kekuatan komunal karena mencoba memecah belah umat Hindu dan Muslim di negara itu.
"Mereka mencoba menyebarkan kebencian terhadap negara," katanya, seraya menambahkan bahwa apapun kontroversi yang terjadi, harus ada solusi untuk itu.
Dewan Hukum Pribadi Muslim Seluruh India, sebuah badan payung para cendekiawan di India, setelah pertemuan awal pekan ini mengatakan bahwa umat Islam tidak dapat mentolerir penodaan terhadap masjid.
Para ahli mengatakan satu-satunya solusi untuk persoalan ini adalah pemerintah di tingkat federal mengikuti aturan dan peundang-undangan.
Pemimpin Muslim India dan anggota parlemen, Asaduddin Owaisi, mengatakan sudah saatnya Perdana Menteri Narendra Modi mengakhiri kontroversi ini dan menghormati undang-undang tahun 1991 yang melarang perubahan status quo tempat-tempat keagamaan seperti yang sudah berlaku sejak kemerdekaan India pada 15 Agustus 1947. (RUTE/anadolu)
0 Komentar :
Belum ada komentar.