Oleh : Quraish Shihab
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Prinsip dasar dalam agama bahwa berbisnis itu baik. Dan, agama juga mengakui bahwa mencari keuntungan adalah hal yang wajar.
Berapa keuntungannya? Hal itu ditentukan sebenarnya oleh supply and demand. Namun, ada ketentuan-ketentuan khusus yang berkaitan dengan bisnis yang terlarang secara tegas dalam ajaran agama.
Salah satu yang terlarang di dalam agama adalah menumpuk atau menimbun barang saat kebutuhan tinggi, lalu menunggu naiknya permintaan masyarakat, kemudian dijual dengan dinaikkan harganya. Ini tidak dibenarkan.
Mengapa? Dalam ajaran agama, jual beli itu harus ‘suka sama suka’. Tetapi sebenarnya, yang membeli barang dengan harga yang melampaui batas, sehingga ia membeli dengan rasa tidak suka atau karena terpaksa, maka ini adalah sesuatu yang terlarang.
Jadi, janganlah menimbun!
Allah Swt. berfirman di dalam Al Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antaramu.” (QS. An Nisaa [4] : 29)
Bisnis itu dilakukan dengan perdagangan atas dasar ridha. Kata “ridha” itu melebihi dari sekedar setuju.
Sebagai contoh, saya bisa setuju tetapi saya tidak puas. Dia lulus, dengan nilai enam, maka dia tidak puas, tetapi dia tetap lulus.
Ridha itu berarti kepuasan. Jadi, dalam berbisnis berikanlah rasa puas kepada pembeli dari barang yang dia ambil dan berikan pula rasa puas kepada penjual dengan apa yang dia jual.
Sebenarnya, kepuasan maksimal itu bisa hadir apabila jual beli itu dilakukan sesuai dengan tuntunan agama dan diridhai Allah. Karena itulah praktik menimbun barang merupakan sesuatu yang terlarang.
Seperti halnya riba. Riba juga itu sebenarnya hubungan yang terjadi antara pemberi utang dan yang diberi utang. Namun, di antara mereka yaitu di pihak yang menerima utang, ada ketidapuasan.
Penimbunan adalah sesuatu yang sangat tercela dalam agama. Nabi Muhammad Saw. mendoakan orang yang melakukan penimbunan dengan doa supaya dia tidak mendapatkan keuntungan dari praktik tersebut.
Termasuk sesuatu yang terlarang juga adalah sikap menjual sesuatu kepada orang yang tidak tahu harganya. Misalnya, menjual sesuatu kepada anak kecil yang tidak mengerti harga.
Bahkan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits mengatakan, “Orang kota jangan menjual kepada orang di pedesaan yang tidak tahu harga.” Artinya, harus ada kejelasan.
Sebenarnya, seseorang yang berbisnis dengan sesamanya, dia mestinya pada saat yang sama “berbisnis” juga dengan Tuhan-nya. Bagaimana cara berbisnis dengan Tuhan? Yaitu berusaha meraih ridha Tuhan.
Di masa lalu, Sayyidina Utsman bin Affan ra. di masa paceklik pernah kedatangan bahan-bahan makanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Datanglah para pedagang kepada beliau seraya berkata, “Berikan kepada kami, akan kami berikan keuntungan seratus persen.”
Lantas, Utsman berkata, “Sudah ada yang menjanjikan kepada saya lebih besar dari itu.”
Bahkan ada para pedagang lain yang kemudian menjanjikan kepada beliau keuntungan dua ratus, tiga ratus hingga empat ratus persen.
Namun, Utsman tetap berkata, “Sudah ada yang menjanjikan kepada saya lebih besar dari itu.”
Melihat sikap Utsman yang seperti itu, para pedagang berkata bahwa tidaklah mungkin ada yang menjanjikan keuntungan lebih besar dari itu.
Utsman berkata kepada mereka, “Ada yang menjanjikan saya keuntungan hingga tujuh ratus persen.”
Para pedagang itu termerna-heran dan bertanya, “Siapa dia?”
“Dia adalah Tuhan-ku,” jawab Utsman. Inilah yang disebut dengan berbisnis dengan Tuhan, Allah Swt.
Minimalnya, seseorang yang berbisnis itu berusaha mendapatkan seorang pelanggan, supaya bisa datang terus. Untung sedikit tetapi terus ada langganan, itu jauh lebih baik daripada untung banyak tapi tidak ada langganan.
Ada peribahasa yang mengatakan, “Kalau anda membangun jembatan untuk mencapai satu tujuan, jangan runtuhkan jembatan itu ketika anda sudah tiba di tujuan. Karena siapa tahu anda perlu kembali sehingga jembatan itu bisa anda gunakan lagi”.
Inilah nilai bisnis yang perlu ditanamkan. Pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Kembali ke urusan menimbun barang. Selain agama melarang seseorang menimbun barang supaya bisa dijual kembali dengan harga tinggi ketika orang-orang membutuhkan sehingga ia mendapatkan keuntungan yang besar, agama juga melarang kita membeli barang secara berlebih di saat barang tersebut sulit didapatkan, meski dengan alasan untuk jaga-jaga.
Misalnya ada seseorang membeli satu karung beras. Tetapi, karena alasan beras sedang sulit didapatkan dan dia membeli beras sepuluh karung, maka beras-beras itu berpotensi menjadi mubazir, karena dia membeli melampaui kebutuhan. Padahal boleh jadi di luar sana banyak orang yang sangat membutuhkannya. Ini juga masuk ke dalam sikap menimbun.
Maka, belilah barang sesuai kebutuhan dan simpan barang secukupnya saja.
Kecuali seseorang membeli banyak dan dia bagikan kepada orang lain yang membutuhkan, maka ini lain persoalan.
Disarikan dari https://www.youtube.com/watch?v=BaVJWqMz-zE .
0 Komentar :
Belum ada komentar.