Khazanah

Jihad Harta Hukumnya Fardhu 'Ain

Jihad Harta Hukumnya Fardhu 'Ain

Oleh : Dr. Fery Ramadhansyah, Lc., MA

Doktor Bidang Syariah Islam, Cairo University

 

Perjuangan rakyat Palestina saat ini bukan soal independensi satu negara semata. Apa yang mereka perjuangkan sebenarnya merupakan bagian dari perjuangan umat Islam seluruh dunia melawan kezaliman, demi menciptakan kedamaian.

 

Dalam konteks keumatan, Islam tidak mengenal sekat kebangsaan. Pemahaman yang benar adalah bahwa Islam sebagai rumah besar yang menaungi di dalamnya kamar-kamar atau ruang-ruang kecil yang disebut negara. Maka, sudah menjadi tanggung jawab setiap penghuni kamar untuk bersama-sama menolak ancaman luar yang berpotensi meruntuhkan bangunan rumah secara keseluruhan.

 

Secara logika, hukum jihad pada masa sekarang bisa dipahami begini : bagi penduduk setempat (penduduk negara terkait) hukumnya fardhu 'ain, sedang bagi penduduk yang lain hukumnya fardhu kifayah. Ini sangat mudah dipahami karena jihad hanya bisa dilakukan bagi yang memiliki akses. Dengan demikian, tentunya penduduk setempat menjadi pihak yang paling memungkinkan, pihak yang wajib membela dan mempertahankan wilayahnya dari ancaman luar.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah jihad bagi penduduk muslim lainnya, yang berada di negara berbeda, hukumnya hanya bersifat fardhu kifayah? Yaitu, karena sudah ada sebagian kaum muslimin yang berjihad, maka kewajiban jihad bagi muslim yang lainnya menjadi longgar bahkan gugur?

 

Untuk melihat status hukumnya, saya ingin mengajak kita  menelusuri beberapa keterangan Jihad yang dijelaskan dalam Al Quran.

 

Pertama, perintah berjihad pada dasarnya ditujukan kepada semua orang Islam. Ini terlihat dari keterangan dalam surat At Taubah, surat 9, ayat 41, “Infiru khifafan wa tsiqalan" yang artinya “berangkatlah jihad dalam keadaan ringan ataupun berat”. Keterangan ini menjelaskan bahwa jihad tetap merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim bagaimanapun kondisinya, apakah sedang dalam keadaan yang mudah ataukah dalam keadaan yang sulit.

 

Kedua, merujuk kepada ayat tadi, bahwa perintah berjihad dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan harta. Kedua, dengan jiwa. Ini terlihat dari kalimat selanjutnya dalam ayat tadi, “Wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum di sabiilillah”, yang artinya, “dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah”. 

 

Harta dan jiwa merupakan dua hal yang terpenting dalam keberlangsungan hidup manusia. Untuk memperjuangkan nilai-nilai yang agung, maka apapun bisa dikorbankan sekalipun harta dan jiwa.

 

Ketiga, perintah berjihad disertai dengan kewajiban mengerahkan dan mempersiapkan segala kemampuan yang dimiliki. Ini terlihat dari ayat lain tentang jihad yaitu dalam Surat Al Anfal, surat 8, ayat 60, “Wa a'iddu lahum mastata'tum" yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”. Maka, setiap upaya apapun yang bisa dilakukan dalam perjuangan, harus diberikan secara maksimal.

 

Berlanjut kepada pertanyaan, apakah jihad bagi muslim yang berada di luar Palestina bersifat Fardhu Kifayah saja, atau sesungguhnya juga Fardhu ‘Ain? 

 

Maka bisa kita jawab, Jihad dengan jiwa hukumnya Fardhu Kifayah. Namun, jihad dengan harta hukumnya Fardhu ‘Ain. Karena, kata harta (amwal) disebutkan lebih dahulu dari kata jiwa (nafs). Sebab, harta adalah cara termudah bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam medan jihad mendukung pasukan muslim yang mempertahankan wilayah Islam yang dijajah. Selama hal itu bisa dilakukan, maka hukumnya menjadi Fardhu ‘Ain. Sebagai konsekwensi, maka bagi yang tidak melaksanakannya padahal dia punya kemampuan, maka ia berdosa.

 

Sudah menjadi karakter hukum, ketika ada perintah maka tuntutan perbuatan yang muncul darinya dibatasi sesuai kemampuan. Kata-kata semampunya (istitaah) menjadi isyarat bagi kita, manakala ada satu perintah maka harus dilaksanakan semampunya, dalam arti sampai batas maksimal kemampuan.

 

Dalam jihad harta tentunya setiap orang bisa mengambil andil dalam semua bentuk perjuangan melalui harta yang dimiliki. ini Bisa dilakukan dalam bentuk donasi bantuan atau memboikot produk lawan. Bahkan, jihad harta ini adalah sarana efektif untuk melemahkan pasukan lawan tanpa harus bertempur fisik.

 

Berjihad dengan harta adalah kewajiban individual setiap orang. Seperti halnya pelaksanaan shalat, puasa dan lain sebagainya. Maka, berjuang melawan musuh dengan jihad ekonomi menuntut setiap muslim seluruh dunia untuk berjuang dengan harta yang dimilikinya.

 

Jika dari aspek politik kita punya peluang sangat kecil untuk menang, namun dari aspek yang lain khususnya ekonomi masih berpotensi besar untuk menang. Ketika umat Islam di seluruh belahan dunia sadar betapa efektifnya berjuang dengan harta, maka akan memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan politik yang ada saat ini. Sebab politik dan ekonomi tidak dapat terpisah satu sama lain.

 

Bayangkan, jika derasnya gelombang demontrasi yang dilakukan umat muslim di berbagai penjuru dunia dalam mendukung Palestina, jika setiap pekikan takbir dan aksi yang dilakukan diiringi usaha jihad harta, maka wajah politik dunia akan berubah. Dan, itu akan berpengaruh signifikan terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina selama ini.

 

Jika berjuang membantu rakyat Palestina tidak memungkinkan dengan angkat senjata, maka selalu ada cara lain yang bisa kita lakukan. Dan, jihad harta adalah kewajiban yang bisa kita tunaikan. Insyaa Allah, cara ini akan berdampak dalam membantu kemerdekaan saudara kita, rakyat Palestina.

 

Wallahu a'lam.

0 Komentar :

Belum ada komentar.