Nasional

MUI Dukung Wacana Pembatasan Usia Pengguna Media Sosial

MUI Dukung Wacana Pembatasan Usia Pengguna Media Sosial
(Gambar : MUI)

RUANGTENGAH.co.id, Jakarta -  Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung wacana pembatasan usia bagi pengguna media sosial, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menegaskan pentingnya regulasi ini untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif media sosial.

 

“Saya pikir, sudah saatnya Indonesia membatasi penggunaaan media sosial untuk anak remaja dan yang di bawah umur,” ujar Kiai Cholil dalam Seminar Regulasi Penggunaan Media Sosial yang Aman dan Produktif yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI di Jakarta, Jumat (13/12).

 

Seminar tersebut turut dihadiri oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, serta Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital RI, Molly Prabawaty.

 

Belajar dari Australia

 

Dalam pemaparannya, Kiai Cholil menyoroti kebijakan Australia sebagai contoh negara yang telah mengambil langkah konkret untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk media sosial. 

 

Ia menekankan bahwa meskipun dikenal sebagai negara yang liberal, Australia mampu menerapkan regulasi yang ketat demi menjaga generasi mudanya.

 

“Bahkan di tempat kerja, pembatasan penggunaan media sosial diterapkan demi produktivitas,” imbuhnya.

 

Fikih Media Sosial

 

Dalam kesempatan itu Kiai Cholil juga memperkenalkan konsep Fikih Medsos yang berisi prinsip-prinsip dasar interaksi dan komunikasi dalam menggunakan media sosial. Konsep ini dirancang untuk membantu masyarakat lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menyikapi banjir informasi di era digital.

 

1. Prinsip Dasar Informasi (Fiqhu Asas Al-Akhbar)


Pemahaman ini mengingatkan bahwa semua informasi memiliki kemungkinan benar dan salah. Kiai Cholil menjelaskan pentingnya sikap kritis dalam menyaring berita.

 

“Ini pemahaman dasar tentang berita, yang sifatnya (mengidentifikasi) informasi itu baik atau berita buruk,,” ujarnya seperti dilansir MUI.or.id.

 

2. Prinsip Sumber Berita (Fiqhu Mashadirul Akhbar)

 

Prinsip ini menekankan pentingnya memverifikasi sumber informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya.

 

“Banyak cara untuk tabayyun, seperti memastikan sumber beritanya dari orang atau lembaga terpercaya atau menggunakan aplikasi kroscek berita,” tutur Kiai Cholil.

 

3. Prinsip Menyikapi Berita (Fiqhu Al-Ta’mul Bi Al-Akhbar)

 

Tidak semua berita benar layak untuk disebarluaskan, apalagi berita hoaks. Menurut Kiai Cholil, penerima informasi harus mampu memilih berita yang memiliki nilai manfaat.

 

Ia menerangkan bahwa filter dalam menyikapi berita harus datang dari dua hal, yaitu kecerdasan pribadi penerima berita dan regulasi yang mengatur distribusi informasi. 

 

“Intinya, era banjirnya informasi ini perlu ada filter agar berita itu menjadi kebaikan dan terhindar dari malapetaka,” pungkas Kiai Cholil. [RUTE/MUI]

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.