Hikmah

Puasa dan Solidaritas

Puasa dan Solidaritas

Oleh : Dr. Yuli Yasin, MA.

Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Dosen Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Manusia pada umumnya memiliki sifat jika belum diberikan alasan atau tujuan atas suatu perintah maka cenderung enggan untuk mentaatinya. Oleh karena itulah ada ilmu Maqashid Syariah, ilmu yang membahas maksud atau tujuan syariat bagi kehidupan manusia.

Terkait perintah puasa Ramadhan, para ulama sejak dahulu sudah menjelaskan bahwa disamping ada sisi spiritual yaitu untuk menggapai ketakwaan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), puasa juga mengandung sisi sosial.

Dalam Islam kita diajarkan bahwa puasa itu tidak hanya sebatas menahan lapar dan dahaga semata. Karena, Rasulullah Saw. menegaskan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta bahkan malah melakukannya, maka Allah tidak butuh rasa lapar dan dahaga yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Hadits ini secara lugas dan tegas menyatakan bahwa untuk apa kita berpuasa jika kita masih melakukan amal perbuatan yang menyakiti orang lain, berdusta, menginkari janji, mengkhianati amanah dan perbuatan lain yang sejenisnya. Ini artinya, puasa memiliki nilai spiritual dimana pelaksananya diharapkan bisa memiliki kualitas ketakwaan yang lebih tinggi lagi, memiliki akhlak yang lebih baik dari sebelumnya.

Selain spiritual, hadits ini juga memiliki dimensi sosial. Yaitu, dengan berpuasa diharapkan timbul empati kita terhadap sesama untuk saling menjaga, tidak saling menyakiti, kepedulian untuk membantu sesama yang kondisinya membutuhkan pertolongan.

Bukankah dengan berpuasa maka kita menahan diri dari makan dan minum semenjak Subuh hingga Maghrib? Sehingga kita bisa merasakan bagaimana saudara kita yang setiap hari kekurangan makanan, dilanda kelaparan dan kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya.

Dengan berpuasa, tidak ada lagi beda antara yang kaya dengan yang miskin, semua wajib melaksanakan perintah puasa ini tanpa memandang strata sosial dan ekonomi. Dengan berpuasa, orang-orang yang memiliki kesejahteraan secara ekonomi dipaksa selama sebulan penuh untuk merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh mereka yang tidak berpunya.

Jika puasa Ramadhan hanya selama satu bulan saja, maka kita dipaksa untuk bisa tafakur tentang bagaimana kehidupan mereka yang dilanda kekurangan pangan dan kelaparan lebih dari satu bulan.

Oleh karena itu, dengan berpuasa diharapkan orang kaya timbul empatinya terhadap orang miskin sehingga muncul solidaritas sosial untuk saling membantu dan meningkatkan kualitas kehidupan sebagai sebuah masyarakat.

Booster Solidaritas

Namun sayangnya, masih saja ada orang yang meski sudah menunaikan puasa tapi empatinya terhadap kaum miskin tidak juga muncul. Maka, diperlukan dorongan lebih atau booster agar nuraninya tergugah.

Rasulullah Saw. memberikan pesan kepada kita melalui hadits-haditsnya. Salah satunya, “Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Ibnu Rajab menjelaskan maksud hadits ini bahwa jika amal baik seorang mukmin itu dilipatgandakan 10 hingga 700 kali lipat pahalanya, maka puasa Ramadhan pahalanya jauh lebih berlipat lagi sampai bilangan tak terhingga. Alasannya adalah karena berpuasa itu identik dengan kesabaran yang pahalanya tanpa batas sebagaimana tercantum dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 10.

Nah, pesan-pesan Nabi Saw. ini merupakan pendorong bagi setiap muslim agar berpuasa dengan penuh keikhlasan sehingga hadir dalam dirinya kehalusan hati dan empati yang tinggi terhadap sesama. Karena, solidaritas sosial  merupakan konsekwensi dari ibadah puasa yang berkualitas.

Dalam hadits lain Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192)

Ini juga merupakan pendorong agar kita selama menjalani ibadah puasa Ramadhan, juga menunaikan ibadah lainnya berupa saling memberi satu sama lain. Dan, “memberi” di sini bersifat umum, kepada siapa saja baik kaya maupun miskin sepanjang mereka berpuasa.

Artinya, Rasulullah Saw. menekankan pentingnya melatih solidaritas sosial selama bulan Ramadhan sehingga diharapkan hal itu menjadi bagian dari karakter kita. Karena, solidaritas sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dari spirit Ramadhan.

Hak Orang Lain

Mengapa kita diajarkan untuk bersikap proaktif dalam berbagi? Karena sebenarnya Islam menghendaki agar umatnya memiliki cara pandang bahwa di dalam harta kita ada hak orang lain yang perlu kita berikan tanpa menunggu dipinta oleh mereka.

Selama ini tidak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa harta kita sepenuhnya adalah milik kita. Tidak merasa bahwa ada bagian milik orang lain yang Allah titipkan di dalam harta kita itu. Dan, merasa bahwa jika orang lain mau atau perlu maka silakan meminta terlebih dahulu. Dan, itupun belum tentu juga diberikan.

Cara pandang seperti inilah yang ingin diluruskan melalui syariat puasa Ramadhan.

Imam Bukhari meriwayatkan keterangan dari Ibnu Abbas ra. yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. itu orang yang paling dermawan. Dan, kedermawanan beliau akan lebih besar lagi daripada biasanya manakala tiba bulan Ramadhan.

Bahkan, Ibnu Abbas ra. menggambarkan kedermawanan Rasulullah Saw. itu lebih terasa dibandingkan hembusan angin. Dapat dibayangkan jika hembusan angin itu terasa nyaman bagi banyak orang, maka kedermawanan Rasulullah Saw. lebih terasa manfaatnya bagi banyak orang daripada tiupan angin yang nyaman itu.

Satu Tubuh

Islam menggambarkan hubungan sosial antara sesama muslim itu ibarat satu tubuh, jika satu bagian merasa sakit maka bagian tubuh yang lain pun merasakannya. Jika gigi kita sakit, maka tubuh kita ikut merasakannya, panca indera bekerja berupaya mencari jalan keluar, tangan berupaya meringankan sakitnya, kaki berjalan menuju dokter gigi hingga sakit itu dapat teratasi.

Ini merupakan perumpamaan yang luar biasa indah dan sangat relevan jika dikaitkan dengan tema solidaritas sosial.

Sedikit pengalaman sewaktu di Mesir, warga Mesir itu baik yang kaya maupun yang biasa-biasa saja, bekerja sekuat tenaga di bulan-bulan biasa agar bisa memiliki cukup harta yang bisa disedekahkan saat bulan Ramadhan tiba, bentuknya bisa berupa infak, zakat ataupun wakaf.

Maka, puasa adalah cara Islam ‘memaksa’ kita agar bisa membuka mata, mengetuk kesadaran, membangkitkan empati agar bisa saling membantu sesama yang membutuhkan sehingga terbangun kualitas hidup yang lebih baik di tengah masyarakat.[]

  Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=KTPUZg8AnOw
Tags: -

0 Komentar :

Belum ada komentar.