Oleh: KH. A. Muzaini Aziz, Lc., MA.*
Ibadah inti dan utama di bulan Ramadhan adalah puasa, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surah Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ
Maka barang siapa di antara kalian hadir di bulan itu hendaklah ia berpuasa.
Uniknya, puasa memiliki keistimewaan tersendiri dibanding jenis-jenis ibadah lainnya. Keistimewaan puasa ini pernah diungkapkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits beliau:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ (متفق عليه)
Semua amal ibadah anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia (puasa itu) untukku, dan aku sendiri yang akan mengganjarnya (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tentu, semua jenis ibadah, apakah baik itu shalah, zakat, umrah/haji dan lainnya, kita lakukan semata untuk Allah dan guna menggapai ridha-Nya. Namun, hadits tersebut menempatkan puasa secara lebih istimewa, dibanding ibadah-ibadah lainnya, sehingga ia langsung dinisbatkan kepada Allah SWT.
Seperti ketika Ka’bah disebut sebagai Rumah Allah (Baytullâh), tentu semua rumah, seluruh bangunan dan segenap bumi dan segala isinya adalah milik Allah. Namun, ketika Ka’bah langsung dinisbatkan kepada Allah dan kemudian disebut Baytullâh atau Rumah Allah, itu karena adanya keistimewaan tersendiri yang dimiliki oleh Ka’bah dibanding seluruh rumah/bangunan lainnya di muka bumi ini. Demikian juga puasa.
Semua amal ibadah dapat dilihat oleh orang lain. Anda tahu saya sedang shalat ketika Anda melihat tubuh saya yang sedang melakukan gerakan shalat, sujud misalnya. Anda tahu saya berzakat karena Anda menyaksikan ada materi yang saya bayarkan/tunaikan, apalagi jika zakat itu saya berikan untuk Anda. Saat saya melaksanakan ibadah haji pun, Anda bisa menyaksikannya, baik secara langsung maupun melalui photo/video saat saya wukuf di Arafah atau ketika saya melontar jamrah, yang saya posting di media sosial saya.
Ketika Anda tahu dan menyaksikan setiap ibadah yang saya lakukan, tentu ada potensi riyâ` (memperlihatkan dan memamerkan sesuatu untuk menuai pujian) di dalam hati saya. Apalagi jika kemudian Anda menilai bagus dan memuji setiap ibadah yang saya lakukan itu, potensi riya` semakin besar menjangkiti saya.
Lain halnya dengan puasa. Keistimewaan puasa itu antara lain terletak pada bahwa ia adalah ibadah yang amalannya tidak dapat dilihat oleh orang lain. Bisa saja saya mengaku-ngaku sedang puasa di depan Anda, dan Anda percaya bahwa saya sedang puasa, meskipun kenyataannya saya bohong. Yang mampu mengetahui bahwa saya benar-benar sedang puasa atau tidak hanyalah Allah SWT, demikian ungkap Imam al-Ghazali di dalam Ihya`-nya. Itulah mengapa ibadah puasa memiliki keistimewaan dibanding jenis ibadah lainnya.
Di dalam ibadah puasa yang notabene hanya dapat diketahui oleh Allah, keikhlasan (kemurnian amal ibadah hanya untuk menggapai ridha Allah SWT) lebih mudah dibangun, sebagaimana termaktub di dalam ar-Risâlah a-Qusyairiyyah karya al-Imam al-Qusyairiy:
الإخلاص التوقي عَن ملاحظة الخلق. فالمخلص لا رياء له
Ikhlas adalah menghindar dari perhatian/penilaian orang lain. Seorang yang ikhlas tidak ada riya dalam dirinya.
Di dalam ibadah puasa, ada relasi khusus yang terbangun antara seorang hamba dengan Rabb-nya, tanpa melibatkan pihak lain manapun. Sebagaimana redaksi hadits di awal tulisan ini, puasa yang kita jalani hanya Allah yang tahu, maka kemudian Allah jugalah yang langsung menangani ganjaran atas puasa kita tersebut. Ada intimasi hubungan yang terjalin antara pelaku puasa dengan Tuhannya.
Tentu kita pernah mendengar Hadits Jibril, yaitu ketika terjadi dialog antara Rasulillah Saw. dan Malaikat Jibril as. tentang fundamen trilogi keislaman kita: Islam, Iman dan Ihsan. Fokus pada Ihsan, berikut dialognya:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم)
Ia (Jibril as.) berkata: Beritahu aku tentang Ihsan. Ia (Rasulullah Saw.) berkata: (Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya. Jikapun engkau tidak melihat--Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Muslim).
Ihsan mendidik kita tentang murâqabah, yaitu kesadaran diri tentang kehadiran dan pengawasan Allah Dzat Yang al-Raqîb (Maha Mengawasi). Ketika seorang hamba selalu mawas diri bahwa ia senantiasa berada dalam radar pengawasan Tuhannya, baik di keramaian maupun di kesunyian, tentu ia akan selaraskan seluruh aktivitasnya dengan frekuensi ketaatan kepada Allah. Dengan kesadaran yang mendalam tentang murâqabah, potensi kemaksiatan dan kezaliman akan semakin jauh untuk dilakukan. Sebagimana termaktub di dalam ar-Risâlah a-Qusyairiyyah:
من راقب اللَّه تَعَالَى فِي خطرات قلبه عصمه اللَّه فِي حركات جوارحه
Siapa yang senantiasa sadar bahwa ia diawasi oleh Allah pada lintasan-lintasan hatinya, maka Allah akan menjaganya pada gerak-gerik anggota tubuhnya.
Seperti termuat di dalam Ihyâ ‘Ulûmiddîn, yang dikisahkan oleh Abdullah ibn Dinar ra., ketika ia pergi bersama Umar ibn Khattab ra. menuju ke Mekkah. Saat keduanya istirahat di tengah perjalanan, seorang penggembala domba turun dari bukit. Umar lalu berkata: “Wahai penggembala, juallah kepadaku salah satu domba itu.” Si penggembala berkata: “Aku hanya seorang budak (bukan pemilik domba).” Kembali Umar berkata: Katakan saja nanti kepada tuanmu bahwa domba itu dimakan serigala.” Penggembala itu berujar: Lalu apa yang harus kukatakan kepada Allah?” Umar pun menangis. Kemudian ia temui tuan si budak tersebut, dan ia beli budak itu dari tuannya. Kemudian Umar membebaskan budak tersebut, seraya berkata: Kata-katamu itu yang membebaskanmu di dunia ini (dari perbudakan), dan aku berharap kata-katamu itu juga akan membebaskanmu (dari siksa neraka) di Akhirat kelak.
Jika saat lampu lalu lintas merah menyala saya hentikan laju kendaraan agar saya tidak ditilang polisi, atau supaya tidak terekam oleh kamera ETLE, atau karena takut bertabrakan dengan kendaraan dari arah lawan, itulah moral prosedural. Namun, saat lampu lalu lintas merah menyala, dan dengan penuh kesadaran saya hentikan laju kendaraan saya, tanpa perlu peduli apakah ada polisi atau CCTV ETLE, juga tanpa perlu melihat adakah kendaraan yang melaju dari arah lawan, itulah moral substansial.
Anda bermoral secara prosedural, ketika misalnya Anda tidak melakukan korupsi karena takut ketahuan dan ditangkap oleh KPK. Bisa jadi akan lain ceritanya jika menurut penilaian Anda potensi ketahuan dan tertangkap itu tidak ada.
Namun, jika kesempatan untuk korupsi terbuka lebar dan Anda yakin tidak akan ketahuan dan ditangkap oleh KPK tapi Anda tetap tidak mau melakukan korupsi, Anda bermoral secara substansial.
Moral substansial semacam ini dapat terintegrasi di dalam diri seorang hamba jika ia yakin sepenuhnya terhadap murâqabah atau pengawasan Allah SWT. Dan puasa mendidik kita secara intensif untuk sadar tentang pengawasan-Nya itu.
*Penulis adalah Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang, anggota Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, Ketua Bidang Pendidikan, Kaderisasi dan Riset Pengurus Pusat Lajnah Dakwah Islam Nusantara (PP LADISNU) dan Ketua Yayasan Al-Mu’in Kota Tangerang.
0 Komentar :
Belum ada komentar.