Humaniora

Kenalan dengan Wasit Sepak Bola Muslimah Pertama di Inggris

Kenalan dengan Wasit Sepak Bola Muslimah Pertama di Inggris

RUANGTENGAH.co.id, London - Inilah Jawahir ‘JJ’ Roble. Wanita muslimah berusia 26 tahun yang mencintai sepak bola dengan sepenuh hati. Ia rela menjauhi makanan enak ayam nugget dan memilih makanan sehat seperti alpukat.

Perjuangannya tak sia-sia. Kini, Roble menjadi wasit sepak bola pertama di Inggris yang seorang wanita muslimah dan mengenakan hijab.

Semua ini tak dicapai dengan mudah. Roble mengikuti latihan tujuh hari dalam seminggu. Ia membagi waktu antara jogging, angkat beban dan lari di kelas kebugaran khusus wanita di daerahnya.

Roble juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton pertandingan sepak bola. Tak hanya nonton, dia juga mempelajari bagaimana cara seorang wasit pertandingan bekerja : memposisikan diri, mengontrol permainan dan membuat keputusan secara cermat.

Sekarang, Roble telah menjadi seorang wasit semi profesional. Namun, gadis kelahiran Somalia ini bukan tipe yang berpuas diri dengan pencapaian saat ini. Ia menargetkan bisa naik kelas sebagai wasit di level atas sepak bola Inggris.

“Saya ingin lebih tinggi lagi,” ungkap Roble.

“Saya ingin menjadi wasit di Liga Super Wanita (WSL) atau Liga Utama Inggris pria suatu hari nanti,” kata Roble penuh optimis.

Pencapaian Roble dalam karirnya itu mungkin sukar dipercaya. Namun, usahanya untuk bisa bertahan dan berkembang sebagai wasit di dunia sepak bola Inggris yang didominasi laki-laki ternyata jauh lebih sulit dari yang terlihat. Banyak kendala yang ia hadapi untuk mencapai ke titik sekarang.

Salah satunya datang dari orangtuanya sendiri. Orangtuanya berpandangan bahwa gadis muslimah berhijab tidak semestinya bermain sepak bola.

"Orang tuaku merasa malu", katanya kepada Lauren Lewis, jurnalis Middle East Monitor.

Orang Tua Tak Setuju

"Mereka sulit memahami mengapa putri mereka ingin bermain sepak bola karena mereka mengira itu adalah olahraga pria. Mereka terus mengatakan ingin saya tinggal di rumah saja dan menjadi seperti gadis pada umumnya,” cerita Roble.

Roble meyakini bahwa orang tuanya masih terus mengharapkan dia berhenti menyukai sepak bola dan menjauhi hobinya itu, terutama saat orang tuanya memutuskan pindah ke Inggris tahun 2004.

Roble percaya bahwa setelah kepindahan itu orang tuanya berpikir bahwa dengan tinggal di London, Roble akan gentar dan memutuskan berhenti main sepak bola. Mengingat London adaah kota yang iklim sepak bolanya sangat kental dan didominasi kaum pria, mungkin hal itu akan membuat seorang gadis kulit hitam asal Somalia takut.

Tapi ternyata sebaliknya, Roble malah semakin tertantang dan semangat. Atmosfer sepak bola yang kental di Inggris membuat semakin betah menyalurkan hobinya itu. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan apa yang orangtuanya khawatirkan.

“Kekhawatiran orang tuaku tidak membuat saya khawatir, karena saya ingin melihat lebih banyak gadis yang ikut bermain sepak bola, bahkan menjadi pelatih dan wasit dalam sepak bola,” katanya.

Roble sejauh ini melihat banyak gadis usia 15 dan 16 tahun yang bermain sepak bola dengan rasa malas.

“Anda harus mendatangi mereka dengan tangan terbuka dan membuat mereka merasa penting bagi tim. Jika tidak, mereka akan berhenti bermain dan itu sangat merugikan, karena banyak di antara mereka yang sangat bagus,” tambahnya.

Saat sekolah di London, Roble menggunakan waktu bermainnya untuk mengajak teman-temannya ikut bermain sepak bola. Dia kerap membagi cerita bahwa dirinya jatuh cinta pada sepak bola sejak masih tinggal di Somalua.

Bagi Roble, sepak bola menjadi sarana komunikasi yang sangat efektif antara dia dengan teman-temannya saat baru pindah ke London. Saat itu dia masih belum lancar berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Roble adalah tipikal remaja “pemberontak” yang menolak untuk menyerah ketika orang tuanya mencoba untuk mencegahnya bermain sepak bola. Dia memilih mencuri-curi waktu agar tetap bisa latihan sepak bola sepulang sekolah.

"Saya masih ingat saat memberi tahu orang tua bahwa saya mendapat kelas bahasa Inggris tambahan setelah sekolah. Padahal sebenarnya saya bermain sepak bola. Pada satu titik, saya merasa seperti bersalah karena berbohong kepada mereka. Tapi di sisi lain, sepak bola adalah bagian penting dalam hidup saya sejak lama, dan orang tua saya tahu itu,” cerita Roble.

Sebuah Titik Balik

Kebohongan Roble akhirnya terbongkar juga saat ia pulang sekolah dalam keadaan berkeringat, baju kotor dan sepatu berlumpur. Saat itu usianya 16 tahun. Ia tak bisa mengelak saat orang tuanya bertanya apakah dia bermain sepak bola.

"Saya pikir mereka baru mengetahuinya. Saya pulang terlambat tanpa alasan. Terlihat saya telah berolahraga. Alasan yang saya berikan tidak lagi masuk akal,” kisahnya.

Kejadian itupun membuatnya mendapat hukuman. Orang tuanya melarang ia bermain bola dan memperketat waktu kepulangan dari sekolah. Roble hampir putus asa saat itu. Namun, rupanya kejadian ini menjadi titik balik baginya.

Karena tak hilang akal, Roble beralih ke dunia kepelatihan sebagai “jalan lain” untuk tetap terlibat dalam sepak bola. Dia segera memenuhi persyaratan sebagai instruktur level 2. Beberapa bulan kemudian, Roble diundang untuk menjadi wasit pertandingan untuk pertama kalinya dan menegaskan bahwa dia siap untuk tantangan baru.

Perlahan tapi pasti Roble berhasil mendapatkan pengakuan, penghargaan dan apresiasi dari teman-teman dan kerabatnya. Sejak itu, dia mendedikasikan diri sebagai wasit sepak bola dan bertekad membuat mata dunia terbuka bahwa seorang wanita muslimah berhijab pun bisa menjadi pelatih dan wasit sepak bola.

"Ini semua tentang pola pikir. Begitu orang tua menerima gagasan anak perempuan melakukan olahraga, mereka mulai mendorong putri mereka untuk berjalan-jalan atau ke gym, untuk berolahraga,” lanjut Roble.

Jawahir Roble sekarang membuka kelas kebugaran untuk tetangga perempuannya, dan percaya bahwa sikap orang tuanya telah berubah.

“Dulu saya tidak pernah mendapat dukungan orang tua. Makanya saya harus melakukan semuanya sendiri dan itu sulit. Saya tida bisa memberi tahu mereka bagaimana sesi latihan saya, atau apakah saya mencetak gol. Tapi kini, banyak hal telah berubah. Orang tua dan saudara kandung bangga pada saya dan mereka selalu bertanya bagaimana permainan saya dan apakah saya memberikan kartu kuning atau merah. Saya merasa diterima dan itu sangat membahagiakan,” pungkasnya. (RUTE/AA/MEMO)

Tags: -

0 Komentar :

Belum ada komentar.