Khazanah

Qunut Subuh Bid’ah atau Tidak, Ini Penjelasan Lengkapnya

Qunut Subuh Bid’ah atau Tidak, Ini Penjelasan Lengkapnya
Dr Aep Saepulloh Darusmanwiati, MA.

Oleh : Dr Aep Saepulloh Darusmanwiati, MA.

Doktor Ushul Fiqih Universitas Al Azhar Kairo, Dosen FDI Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

Bismillahirrahmaanirrahim. 

 

Banyak yang menanyakan apakah Qunut di dalam shalat Subuh itu termasuk amalan bid’ah ataukah tidak? 

 

Qunut dalam shalat Subuh bukanlah amalan bid’ah. Bukan pula termasuk bid’ah dhalalah. Melainkan bahwa qunut Subuh itu termasuk ke dalam masalah yang diperdebatkan oleh para ulama atau khilafiyah.

 

Artinya, para ulama, para ahli fiqih, khususnya para ulama dari empat madzhab berbeda pendapat dalam masalah qunut Subuh ini. 

 

Dan, jika disimpulkan secara garis besar terdapat dua pendapat dalam masalah qunut Subuh. 

 

Dua Pendapat

 

Pendapat pertama menyebutkan bahwa qunut Subuh tidaklah disyariatkan, tidak disunnahkan dan tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. 

 

Salah seorang ulama dari madzhab Hambali yang menjelaskan hal ini adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya yaitu Al Mughni. 

 

Adapun pendapat kedua yaitu pendapat madzhab Maliki dan madzhab Syafii menyatakan bahwa qunut dalam shalat Subuh adalah sesuatu yang dianjurkan. Ini termasuk amalan sunnah. Madzhab Maliki menyebut qunut Subuh sebagai fadhilah atau keutamaan. Sedangkan dalam madzhab Syafii disebutkan bahwa qunut Subuh merupakan sunnah. 

 

Bahkan, dalam madzhab Syafii, qunut Subuh termasuk sunnah ab’ad yaitu kalau seseorang meninggalkan amalan ini secara sengaja ataupun tidak sengaja maka dianjurkan baginya untuk melaksanakan sujud Sahwi.

 

Oleh arena itu, masalah qunut pada shalat Subuh bukanlah persoalan bid’ah. Melainkan ini termasuk ‘urusan yang diperdebatkan’ oleh para ulama dari empat madzhab. 

 

Dalil-Dalilnya

 

Pendapat madzhab Hanafi dan Hambali yang menyatakan qunut Subuh tidak disunnahkan. 

 

Hal ini berdasarkan dalil hadits yang diriwayatkan dari Imam Muslim dalam Shahihnya. Hadits yang diterima dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW pernah melaksanakan qunut selama satu bulan penuh untuk mendoakan kehancuran orang-orang dzalim yang telah membunuh para sahabat penghapal Al Quran atau dikenal dengan sebutan Al Quraa.

 

Atas kejadian ini Rasulullah SAW mendoakan kehancuran bagi para pelaku pembunuhan itu. Ini kemudian disebut sebagai Qunut Nazilah. Anas bin Malik kemudian menyatakan bahwa Rasulullah SAW selanjutnya meninggalkan amalan qunut tersebut. 

 

Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, hadits ini menjadi dalil bahwa qunut itu hanya dibenarkan atau hanya disyariatkan ketika terjadi suatu peristiwa yang tidak mengenakan bagi umat Islam. Yaitu seperti kejadian dibunuhnya para sahabat penghapal Al Quran, maka kemudian Rasulullah SAW melaksanakan Qunut Nazilah. Namun, setelah selesai permasalahan tersebut, Rasulullah SAW kemudian meninggalkan qunut. 

 

Jadi, kesimpulannya menurut dua madzhab ini bahwa qunut itu sifatnya mu’aqot atau hanya sementara saja yaitu ketika terjadinya peristiwa yang menyedihkan atau tidak mengenakkan bagi umat Islam. 

 

Dalil yang kedua, berdasarkan hadits shahih dari Ibnu Majah dalam Sunan Imam At Tirmidzi. Diterima dari Abu Malik Saad bin Thariq bahwa beliau pernah bertanya kepada ayahku, “Wahai ayahku sesungguhnya Engkau pernah shalat di belakang Baginda Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah selama lebih lima tahun. Apakah mereka melaksanakan qunut saat Shalat Subuh?”

 

Kemudian, ayahnya menjawab, “Wahai puteraku, hal tersebut adalah muhdats (sesuatu yang baru, tidak terjadi).”   

 

Atas hadits ini, madzhab Hanafi dan Hambali menjelaskan bahwa istilah muhdats dalam hadits ini maknanya adalah tidak disyariatkan. Kedua madzhab ini menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW serta para Khulafaur Rasyidin tidak melaksanakan qunut pada shalat Subuh. 

 

Sedangkan madzhab Syafii dan madzhab Maliki berpendapat bahwa qunut dalam shalat Subuh adalah disyariatkan. 

 

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. Dan, hadits ini dihukumi oleh para ulama hadits seperti Imam An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ sebagai hadits shahih. 

 

Hadits tersebut diterima dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW terus-menerus melakukan qunut pada shalat Subuh sampai beliau wafat.” 

 

Hadits ini menurut madzhab Syafii dan Maliki merupakan hadits yang sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menunaikan qunut dalam shalat Subuh, bahkan sampai akhir hayat Beliau. Berarti qunut dalam shalat Subuh itu sifatnya bukan sementara, melainkan terus-menerus. 

 

Dalil yang kedua adalah hadits riwayat Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro dengan derajat hadits Hasan. Haditsnya diterima dari Awwam bin Hamzah ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Abu Utsman tentang qunut pada shalat Subuh.” Kemudian, Abu Utsman mengatakan, “Ya, ada qunut dalam shalat Subuh yaitu dilakukan setelah ruku’.”

 

Kemudian, Awwam bin Hamzah bertanya lagi, “Dari mana engkau tahu hal itu wahai Imam Abu Utsman?” 

 

Awwam bin Hamzah menjawab, “Hal itu didapatkan dari Abu Bakar, Umar dan Utsman.” 

 

Artinya, hadits ini menerangkan bahwa qunut Subuh dilakukan oleh juga oleh Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Bahkan di dalam hadits yang lain Imam Al Baihaqi mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib pun melaksanakan qunut pada shalat Subuh. Inilah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Syafii dan madzhab Maliki bahwa qunut dalam shalat Subuh itu disyariatkan, disunnahkan. 

 

Adapun hadits yang menyebut bahwa Rasulullah SAW meninggalkan qunut pada shalat Subuh, menurut para ulama madzhab Syafii hadits tersebut maksudnya bukanlah meninggalkan pelaksanaan qunutnya, melainkan maksudnya adalah meninggalkan doa di dalam qunut yang mendoakan kehancuran orang-orang yang telah membunuh para sahabat penghapal Al Quran. 

 

Bahwa Rasulullah SAW tidak lagi mendoakan kehancuran bagi mereka. Sedangkan qunutnya masih dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, tapi isinya bukan lagi mendoakan kehancuran orang-orang dzalim tadi. Hal ini dijelaskan oleh para ulama madzhab Syafii, diantaranya Imam An Nawawi dalam Kitab Al Majmu’.

 

Terlebih, ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro dengan derajat Shahih. Bahwa dalam hadits yang menyebut Rasulullah SAW meninggalkan qunut Subuh itu masih ada lanjutannya. Yaitu, diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW pernah qunut selama satu bulan penuh mendoakan kehancuran mereka yang telah membunuh para sahabat penghapal Al Quran, kemudian Beliau meninggalkannya. Adapun dalam shalat Subuh, Rasulullah SAW tetap melakukan qunut sampai Beliau wafat. 

 

Jadi, dalam hadits riwayat Imam Muslim hadits tersebut hanya sampai pada kalimat, “Kemudian Rasulullah SAW meninggalkannya.” Sedangkan dalam hadits riwayat Imam Al Bahaqi hadits tersebut ada lanjutannya yaitu, “Adapun dalam shalat Subuh, Rasulullah SAW tetap melakukan qunut sampai Beliau wafat.” 

 

Kemudian, para ulama dari madzhab Syafii dan madzhab Maliki menjelaskan bahwa hadits sahih yang menyebut bahwa para Khulafaur Rasyidin tidak menunaikan qunut Subuh, ini bertentangan dengan hadits shahih lain yang menyebutkan bahwa Khulafaur Rasyidin melakukan qunut pada shalat Subuh. Ini artinya ada pertentangan antara hadits yang satu dengan hadits yang lain dan keduanya sama-sama Shahih. 

 

Lalu, Bagaimana Menyikapinya? 

 

Dalam ilmu Ushul Fiqih ada kaidah yang sangat masyhur yaitu, Idza ta’arodho baina al-mutsbit wan naafi, kun bimal mutsbit, kalau ada pertentangan antara hadits yang menetapkan/menerima dengan hadits yang menolak, maka mayoritas para ulama Ushul Fiqih berpandangan ambillah yang menetapkan. Dalam konteks qunut Subuh, maka ambillah dalil yang menetapkan qunut Subuh, bukan yang menolaknya. 

 

Inilah sikap yang diambil oleh para ulama madzhab Syafii, mereka mengatakan, “Idza ta’arodhol mutsbit wan naafi, qudimal mutsbit liannahu ziyadatul ilmi", jika terdapat pertentangan antara yang menetapkan dengan yang menolak maka dahulukan yang menetapkan karena di sana terdapat tambahan ilmu dan amalan. Inilah yang membuat madzhab Syafii dan Maliki menyimpulkan bahwa qunut dalam shalat Subuh adalah disunnahkan. 

 

Kesimpulannya 

 

1. Masalah qunut dalam shalat subuh adalah masalah yang diperdebatkan oleh para ulama atau khilafiyah. Qunut bukanlah masalah bid’ah. 

 

2. Para sahabat dan para tabiin mengamalkan qunut pada shalat Subuh. Bahkan Syaikh Abu Hazib dalam kitab Al I’tibar fin Nasihkh wal Mansukh bahwa jumhur, mayoritas para sahabat para tabiin dan para generasi ulama setelahnya, mereka semua melaksanakan qunut Subuh. 

 

3. Bagi siapa saja yang mau menunaikan qunut Subuh diperbolehkan, sesuai dengan madzhab Syafii dan Maliki. Dan, yang memilih untuk tidak qunut Subuh juga diperbolehkan karena ini sesuai dengan madzhab Hanafi dan Hambali. 

 

 

4. Jangan menyalahkan orang yang berbeda pilihan dengan kita dalam hal qunut Subuh ini. Silakan memilih dan tetap saling menghargai dan menghormati seiring menjaga semangat Ukhuwah Islamiyah.  

 

Wallahua’lam bishawab.[]

 

 

 

  

0 Komentar :

Belum ada komentar.